Rabu, 08 April 2009

PENYAKIT PADA TERNAK BESAR DAN KECIL

1. PMK (Foot and Mouth Disease)

Penyakit PMK (Penyakit Mulut dan Kuku) merupakan penyakit yang menyerang ternak utamanya sapi dan kerbau, bersifat akut dan sangat menular ditandai pembentukan vesikel-vesikel pada selaput lender mulut, hidung, dan pada kulit di antara maupun di dekat tracak.

Etiologi : Disebabkan oleh picorna-virus. Mempunyai 7 tipe, yaitu tipe A, O, C, Asia 1, dan SAT 1, 2, dan 3.

Simpramatologi : Cara penularan PMK yang terbanyak adalah melalui udara secara aerosol. Pada sapi virus masuk memasuki saluran pernafasan, bagian atas maupun bagian bawah atau melalui mata.

Diagnosa : PMK dapat ditentukan secara sementara berdasarkan gejala klinisnya. Tetapi perlu dilakukan uji laboratorium dengan pengambilan bahan pemeriksaan seperti cairan lepu, keropeng epitel dari lepuh, darah, jaringan hewan yang mati, jarimgan epitel dan caairan yang diambil dari kerongkongan.

Pencegahan : Vaksinasi dan pemotongan massal pada bagi tertular, dan mengatur lalu lintas ternak maupun produk olahannya.

Terapi : Untuk PMK tidak ada pengobatan khusus yang dianjurkan.

2. Rabies

3. IBR (Infectious Bovine Rhinotracheitis)

Penyakit ini merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus yang menyerang sistem pernafasan yang menyerang sapi umur 6 bulan ke atas dan mempunyai manifestasi klinis.

Etiologi : Penyakit ini disebabkan oleh Bovine Herves-virus tipe 1, yang termasuk dalam keluarga Herpetoviridae yang memilikidouble-stranded DNA.

Simpramatologi : Virus ini disebarkan secara kontak melalui air mata, leleran hidung, dan plasenta mengandung virus.

Diagnosa : Diagnosa IBR didasarkan atas anamnesa, gejala klinis, pemeriksaan pasca mati dan pengenalan virus (teknik antibody fluoresen).

Terapi : Penderita sedapat mungkin diisolasi dan diinjeksi dengan antibiotic berspektrum luas untuk melwan kuman penyebab infeksi sekunder.

4. Pseudorabies

5. Rinderpest (sampar sapi)

6. Jembrana

Penyakit yang paling banyak menarik pertama kali terdapat di kabupaten jembrana, wilayah di pulau Bali sebelah barat, pada tahun 1964.

Etiologi : Sampai saat ini penyebab penyakitmasih bersifat kontroversoial. Gejala kliniks, gambaran patologik dan sifat-sifatepidemiologik penyakit jembrana sangat sangat mirip dengan penyakit ondiri.

Simpramatologi : ketika penyakit jembrana pertama kali memasuki pulau Bali, penyakit tersebut menjalar ke semua bagian pulau dalam waktu 8 bulan, dengan di pantai timur pulau kecepatan menjalarnya bersifat lambat.

Diagnosa : karena agen etiologi tidak dipastikan serta tidak adanya uji serologic maupun uji cultural yang pasti, diagnosa ditentukan dengan melihat gambaran patologi anatomi di atas.

Pencegahan : sanitasi dan kebersihan lingkungan.

Terapi : terapi dan pengendalian saat ini masih agak kontraversial.

7. MCF (Malignant Catarral Fever)

Penyakit ingusan kebanyakan diderita oleh sapi, meskipun juga kadang-kadang diderita oleh kijang dan kerbau yang dimana domba bertindak sebagi carrier sehingga ternak sapi tidak dapat digembalakan bersama domba.

Etiologi : Bentuk penyakit ini disebabkan oleh herpes-virus yang bersifat cell associated.

Simpramatologi : Penyakit ini dapat menyerang sapi pada berbagai umur yang sumber penularannya yang sangat penting adalah wildebeest dan domba yang baru melahirkan.

Diagnosa : Pemeriksaan serologic hanya dapat dilakukan untuk penentuan penyakit ingusan bentuk Afrika Selatan.

Pencegahan : tidak mengembalakan kambing bersama dengan domba.

Terapi : Tidak ada pengobatan khusus untuk penyakit ini.

8. BVD (Bovine Viral Diarrhea) atau MD (Mucosal Disease)

Penyakit ini pada dasarnya merupakan penyakit sapi yang berumur antara 6- 24 bulan, berlangsung secara akut atau subakut, dan ditandai dengan berbagai manifestasi klinis, terutama gejala-gejala gangguan pencernaan dan pernafasan. Selain sapi, juga menyerang kambing, domba, dan kerbau.

Etiologi : Penyakit ini disebabkan oleh RNA termasuk dalam genus Pestivirus, anggota dari keluarga Togaviridae.

Simpramatologi : Virus ini ditularkan melalui kontak langsung atau tidak langung melalui makanan yang terkontaminasi oelh tinja, dan secara aerosol. Virus juga berada dalam kemih dan mungkin bersifat infeksius.

Diagnosa : Gejala-gejala yang ada di alpangan tidak menciri. Harus ditentukan dengan peneguhan virologik.

Pencegahan : isolasi ternak yang sakit dan menjaga kebersihan kandang. Serta vaksinasi untuk mencegah timbulnya infeksi adeno-virus.

Terapi : Tidak ada pengobatan terhadap adeno-virus. Aspirin dapat digunakan sebagai antipiretika, dan antibiotika untuk infeksi sekunder.

9. ORF

10. Pinkeye

Penayakit yang menyerang pada mata ternak.

PENGUKURAN

1. Definisi Pengukuran

Dalam kehidupan sehari-hari sering kita jumpai aktivitas pengukuran. Contohnya : penjual minyak goreng harus melakukan pengukuran sesuai dengan pesanan pembeli dan seorang penjahit harus mengukur kain sesuai dengan ukuran badan konsumennya. Dan selain kegiatan ini masih banyak lagi kegiatan lain yang tergolong sebagai kegiatan pengukuran.

Tentukan besaran dan satuan dari pengukuran di bawah.

1. Andi seorang pedagang ternak membandingkan massa sapi dan kambing. Diperoleh massa sapi sama dengan 10 kambing.

2. Keranjang itu isinya 50 jeruk.

Dalam fisika, mengukur didefinisikan sebagai kegiatan membandingkan suatu besaran dengan besaran lain yang digunakan sebagai satuan. Dengan bahasa yang lebih jelas, ilmu fisika mendefinisikan besaran dan satuan sebagai berikut : besaran adalah sesuatu hal yang bisa diukur dan dinyatakan dengan angka, sedangkan satuan adalah sesuatu yang dijadikan sebagai pembanding.

2. Alat Ukur Besaran

Dalam penyelidikan untuk memahami dunia di sekitar kita, para ilmuwan telah melakukan banyak pengukuran untuk mencari hubungan antara berbagai besaran fisika yang mereka teliti. Pada perkembangannya, besaran dan satuan yang dipelajari oleh para ilmuwan fisika semakin banyak seiring dengan ditemukannya alat-alat ukurnya. Berikut ini merupakan beberapa contoh penggunaan beberapa alat ukur, yaitu:

1. Mistar, jangka sorong, dan mikrometer sekrup untuk mengukur panjang.

a. Mistar

Pada gambar di bawah ditunjukkan hasil pengukuran panjang dengan mistar yang ketelitiannya berbeda. Tentukan hasil pengukurannya.

Mistar digunakan untuk mengukur panjang dengan jangkauan ukuran yang tidak terlampau besar. Ketelitian atau tingkat kesalahan mistar sebesar setengah skala terkecil. Misal kita mempunyai mistar dengan skala terkecil 1 mm, maka ketelitian mistar itu sebesar 0,5 mm atau 0,05 cm.

a. Jangka sorong

Jangka sorong merupakan alat ukur panjang. Alat ini ada yang memiliki ketelitian sampai 0,1 mm atau 0,01 cm, berarti sepersepuluh lebih teliti daripada mistar milimeter. Bagian terpenting jangka sorong ada dua yaitu rahang tetap dan rahang sorong (rahang geser) lihat Gambar 1.

Rahang tetap dilengkapi dengan skala utama (skala panjang). Skala ini memiliki batas ukur minimum dalam milimeter. Sedangkan rahang sorong atau rahang geser dilengkapi skala nonius atau vernier. Skala ini memiliki batas minimum 0,1 milimeter. Batas minimum diperoleh dari pembagian skala nonius menjadi 10 bagian (0-10) dari panjang asli 9 milimeter, sehingga setiap satu skala nonius memiliki panjang 0,9 milimeter, lihat Gambar 1.

D:\Jejak Protek\farm\sexysliderule_w.jpg

Laporan Praktikum

Sanitasi Industri Hasil Ternak

SANITASI PEKERJA, RUANGAN DAN PERALATAN




Oleh :

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2008


PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dalam suatu industri khususnya dalam Industri pangan diperlukan suatu usaha untuk mencegah kontaminasi pada produk pangan yang diproduksi, baik berupa biologi, kimiawi maupun kontaminasi fisik, sehingga dapat dihasilkan pangan yang aman, layak, dan sehat untuk dikonsumsi. Salah satu upaya yang dilakukan yaitu dengan penerapan sanitasi pada industri pangan.

Sanitasi pangan merupakan upaya pencegahan terhadap kemungkinan bertumbuh dan berkembangbiaknya jasad renik pembusuk dan pathogen dalam makanan, minuman, peralatan dan bangunan yang dapat merusak pangan dan membahayakan manusia. Sanitasi dalam industri pangan menyangkut banyak hal diantaranya seperti pekerja, ruangan, peralatan yang digunakan, dan lain sebagainya.

Dalam melakukan sanitasi diperlukan suatu teknik dan bahan-bahan yang dapat membunuh dan menbersihkan lingkungan serta peralatan dari kontamnasi mikroba serta kotoran yang banyak tersebar diudara. Salah satunya yaitu desinfektan, tetapi tingkat keberhasilan dalam sanitasi tidak dapat diketahui tanpa dilakukannya suatu pengujian, pengujian inilah yang akan menentukan apakah seorang pekerja atau suatu ruangan industri telah bersih dan layak digunakan sebagai ruang produksi. Hal inilah yang melatarbelakangi dilakukannya praktikum mengenai sanitasi ruangan, pekerja dan peralatan.


Tujuan dan Kegunaan

Tujuan dari praktikum Sanitasi Industri Hasil Ternak adalah untuk mengetahui bagaimana metode uji sanitasi pekerja, metode uji sanitasi peralatan, dan metode uji sanitasi ruangan. Serta mengetahui bagaimana cara sanitas pekerja, sanitasi peralatan dan sanitasi ruangan.

Kegunaannya adalah agar dapat mengetahui metode uji sanitasi pekerja, peralatan, dan ruangan serta mengetahui cara-cara sanitasinya.


PEMBAHASAN

A. Pengertian Sanitasi

Sanitasi adalah pencegahan penyakit dengan cara menghilangkan atau mengatur faktor-faktor lingkungan yang berkaitan dalam rantai penyebaran penyakit tersebut. Sanitasi juga dapat diartikan sebagai usaha untuk mebina dan menciptakan suatu keadaan yang baik dalam bidang kesehatan terutama kesehatan masyarakat.

Prinsib dasar sanitasi ialah menghilangkan kotoran dalam setiap bentuk yang terdapat dalam lingkungan dan mencegah kontaknya dengan manusia. Hal ini dapat dilakukan dengan cara sanitasi pekerja, ruangan industri dan peralatan

Penerapan sanitasi yaitu dengan mengubah lingkungan secara langsung dan tidak langsung yang dapat membahayakan kehidupan manusia. Penerapan sanitasi dalam industry meliputi kegiatan secara aseptik dalam persiapan , pengolahan dan pengemasan, pembersihan dan sanitasi pabrik serta lingkungan pabrik. Kesehatan dan sanitasi pekerja.

B. Macam-macam Sanitasi

1. Saniatsi Uap

Sanitasi uap menggunakan uap mengalir 76,7oC selama 15 menit atau 93,3oC selama 5 menit. Sanitasi uap dapat dilakukan untuk sanitasi bahan dan peralatan misalnya dengan menggunakan Autoklaf.

Kekurangan Sanitasi Uap yaitu :

Ø Sanitasi ini tidak efektif dan mahal,

Ø Dapat menyebabkan terbentuknya gumpalan yang keras pada residu bahan organic sehingga menghambat penetrasi panas pada mikroba.

2. Sanitasi Air Panas

Sanitasi ini dilakukan dengan merendam alat atau bahan dalam air panas (peralatan kecil seperti pisau, piring, wadah yang berukuran kecil), dengan menggunakan suhu diatas 80oC (bukan dengan cara menuang air panas/membilas karena tidak efektif). Efek yang ditimbulkan karena denaturasi molekul protein sel mikroba.

Kekurangan Sanitasi Air Panas yaitu :

Ø Spora bakteri tidak mati (tahan 1 jam pada suhu 100oC).

3. Sanitasi Udara Panas

Sanitasi ini menggunakan suhu panas 82,2oC selama 20 menit. Sanitasi ini biasanya digunakan untuk sterilisasi alat (Sterilisasi kering) yaitu dengan menggunakan oven.

Kekurangan Sanitasi Udara Panas yaitu :

Ø Bila kesadahan air diatas 60 mg/l akan timbul karat pada alat yang disanitasi.

4. Sanitasi Radiasi

Sanitasi ini yaitu dengan pemanfaatan sinar UV atau sinar γ dengan panjang gelombang 2500 A, dimana harus berkontak dengan mikroba minimal 2 menit. Metode ini dapat menghancurkan mikroorganisme dan ini cocok untuk aplikasi pengemasan makanan. Misalnya dengan menggunakan lampu merkuri bertekanan rendah.

5. Sanitasi Kimia

Sanitasi kimia yaitu mennguanakn bahan kimia untuk membunuh mikroba. Banyak bahan kimia yang dapat berfungsi sebagai desinfektan, tetapi umumnya dikelompokkan ke dalam golongan aldehid atau golongan pereduksi, yaitu bahan kimia yang mengandung gugus - COH; golongan alkohol, yaitu senyawa kimia yang mengandung gugus -OH; golongan halogen atau senyawa terhalogenasi, yaitu senyawa kimia golongan halogen atau yang mengandung gugus - X; golongan fenol dan fenol terhalogenasi, golongan garam amonium kuarterner, golongan pengoksidasi, dan golongan biguanida.

Efektifitas sanitaiser kimia dipengaruhi oleh :

  1. Waktu kontak (minimum 2 menit)
  2. Suhu optimum (21,1-37,8Oc), jika lebih tinggi maka akan menguap (yodium) dan bersifat korosif (klorin), dan jika lebih rendah maka tidak efektif.
  3. pH optimum 6-7, tidak efektif pada pH yang basa.
  4. Kebersihan alat
  5. Kesadahan air (mempengaruhi pH, air sadah bersifat basa dan bersifat korosif.
  6. Kontaminasi agen lain (misalnya deterjen)

Untuk produk pangan segar, pencucian dapat menurunkan potensi bahaya akibat mikroorganisme. Pencucian atau pembilasan sayuran dapat menghilangkan kotoran dan kontaminan lainnya. Pencucian dapat dilakukan dengan air, deterjen, larutan bakterisidal seperti klorin dan lain-lain.Air merupakan media untuk pencucian bahan makanan dan peralatan pengolahan. Air yang dipakai untuk mencuci harus bebas dari mikroba patogen atau mikroba penyebab kebusukan makanan. Beberapa penyakit yang dapat disebarkan melalui air adalah kolera, tifus, paratifus, disentri basiler, serta disentri amuba (Astawan, 2007).

Klorin termasuk desinfektan golongan halogen. Cara kerjanya mengoksidasi grup sulfidril bebas. Klorin yang digunakan dapat berupa gas, bubuk, cairan, atau tablet. Klorin merupakan jenis sanitaiser yang banyak digunakan dan residu klorin mudah diukur, serta pelaksanaan klorinasi air lebih mudah. Klorin banyak digunakan untuk membunuh patogen, mengontrol mikroorganisme pengganggu, mengoksidasi, serta menghilangkan bau, rasa, dan ammonia (Astawan, 2007)

Adapun kekurangan sanitasi kimia yaitu :

  1. Tidak mampu menetrasi pada bagian-bagian tersembunyi
  2. Suhu larutan tidak boleh lebih dari 55oC
  3. Tidak bisa efektif untuk cemaran yang banyak

C. Sanitasi Pekerja, Ruangan, dan Peralatan

1. Sanitasi Pekerja

Sanitasi pekerja perlu dilakukan terutama pada pekerja yang setiap saaat kontak dengan makanan. Sanitasi pekerja dapat dilakukan dengan cara menjaga kesehatan pekerja, memakai pelindung kepala, masker, sepatu dan pakaian khusus yang telah disediakan, serta sebelum masuk area produksi dilakukan penyemprotan atau madi shower dengan desinfektan (formalin).

Persyaratan pekerja yaitu :

Ø Harus sehat (tidak menderita penyakit menular)

Ø Pekerja memahami masalah sanitasi dan kebersihan.

Uji kebersihan pekerja dapat dilakukan dengan cara yaitu sebagai berikut :

a. Sanitasi tangan

Pertama-tama buat 2 buah media dari Nutrien Agar (NA), 1 untuk tangan kiri dan 1 untuk tangan kanan. Letakkan tangan kanan dan tangan kiri pada masing-masing media selama 5 detik, kemudian tutup. Masukkan kedalam inkubator dengan suhu 30oC selama 1-2 hari. Setelah 1-2 hari amati dan hitung jumlah koloni bakteri yang tumbuh.

b. Sanitasi Rambut

Mula-mula buat 2 media agar, 1 untuk bakteri (NA) dan 1 untuk kapang (SDA). Masukkan 2 helai rambut pada masing-masing media kemudian tutup. Masukkan kedalam inkubator dengan suhu 30oC selama 1-2 hari. Setelah 1-2 hari amati dan hitung jumlah koloni bakteri yang tumbuh.


2. Sanitasi Peralatan

Sanitasi peralatan dilakukan untuk mensterilkan atau menghilangkan mikroba yang terdapat pada peralatan kerja. Sanitasi alat dan bahan dapat dilakukan dengan menggunakan alkohol, oven dan autoklaf. Untuk menguji kebersihan dari sanitasi peralatan dilakukan uji sebagai berikut :

a. Untuk Tabung

Siapkan media dari Nutrien Agar (NA) dan buffer phosphate. Masukkan buffer phosphate kedalam tabung lalu dibolak-balik selama 10-20 kali. Setelah itu ambil 1 ml buffer phosphate tadi dan masukkan dalam media. Simpan didalam inkubator dengan suhu 30oC selama 1-2 hari. Setelah 1-2 hari amati dan hitung jumlah koloni bakteri yang tumbuh.

Rumus yang digunakan yaitu :

b. Untuk Nampan

Siapkan buffer phosphate dan media dari Nutrien Agar (NA). Pakai spon lalu serap buffer phosphate kemudian ulas pada nampan. Setelah nampan diulas peras spon lalu ambil 1 ml kemudian masukkan dalam media NA. Masukkan kedalam inkubator dengan suhu 30oC selama 1-2 hari. Setelah 1-2 hari amati dan hitung jumlah koloni bakteri yang tumbuh.

Rumus perhitungan jumlah koloni sbb:

3. Sanitasi Ruangan

Sanitasi ruangan biasanya menggunakan uap panas, fumigasi dengan bahan sanitizer (formalin) serta dapat juga mengguakan sinar Ultra Violet (UV) atau sinar γ. Uji kebersihan pada sanitasi ruangan dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :

Perta-tama buat media dari Nutrien Agar (NA) ± 4 cawan, buat sampai penuh pada permukaan cawan. Letakkan media pada lantai/meja ruangan secara terpisah ± 5 detik, lalu tutup. Masukkan kedalam inkubator dengan suhu 30oC selama 1-2 hari. Setelah 1-2 hari amati dan hitung jumlah koloni bakteri yang tumbuh.

Rumus yang digunakn yaitu :

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan diatas maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

Ø Sanitasi adalah pencegahan penyakit dengan cara menghilangkan atau mengatur faktor-faktor lingkungan yang berkaitan dalam rantai penyebaran penyakit tersebut.

Ø Macam-macam sanitasi yaitu sanitasi uap, sanitasi air panas, sanitasi udara panas, sanitasi radiasi, dan sanitasi kimia.

Ø Dalam industri pangan sanitasi pekerja, alat, dan ruangan sangat diperlukan untuk memperoleh pangan yang sehat dan layak untuk dikonsumsi.


DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2008. Bahan Ajar Sanitasi Industri Pangan. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar.

Astawan, 2007. Waspadai Bakteri Patogen Pada Makanan. Error! Hyperlink reference not valid.. Diakses Pada [13 November 2008].

Laporan Praktikum

Ilmu & Teknologi Pengolahan Daging

CURING DAN DAGING ASAP




OLEH :

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVESITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2008

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Daging adalah urat yang melekat pada kerangka kecuali urat dari bagian bibir, hidung dan telinga dari hewan yang sehat sewaktu dipotong. Daging terdiri dari otot, jaringan penghubung dan jaringan lemak.

Daging merupakan salah satu bahan pangan bergizi tinggi disamping telur, susu dan ikan. Daging mengandung protein, lemak, mineral, air serta vitamin dalam susunan yang berbeda tergantung jenis makanan dan jenis hewan. Hewan yang berbeda mempunyai komposisi daging yang berbeda pula. Komposisi daging terdiri dari 75% air, 18% protein, 4% protein yang dapat larut (termasuk mineral) dan 3% lemak. Ternak rata-rata menghasilkan karkas (bagian badan hewan) 55%, macam-macam hasil sampingan 9%, kulit 6% dan bahan lainnya 30%. Daging yang baik ditentukan oleh warna, bau, penampakan dan kekenyalan. Semakin daging tersebut lembab atau basah serta lembek (tidak kenyal) menunjukkan kualitas daging yang kurang baik.

Pengawetan daging merupakan suatu cara menyimpan daging untuk jangka waktu yang cukup lama agar kualitas maupun kebersihannya tetap terjaga. Tujuan pengawetan adalah menjaga ketahanan terhadap serangan jamur (kapang), bakteri, virus dan kuman agar daging tidak mudah rusak. Ada beberapa cara pengawetan yaitu: pendinginan, pelayuan, pengasapan, pengeringan, pengalengan dan pembekuan.

Sebaiknya daging hewan yang baru saja disembelih tidak cepat-cepat dimasak, tetapi ditunggu beberapa lama atau dilayukan terlebih dahulu. Untuk daging sapi atau daging kerbau dapat dimasak sesudah pelayuan selama 12-24 jam; daging kambing, domba, babi sesudah 8 - 12 jam, sedangkan untuk daging pedet (anak sapi) sesudah 4-8 jam. Usaha pengawetan daging diperlukan untuk memenuhi selera atau kebutuhan konsumen serta mempermudah dalam pengangkutan.

Contoh hasil olahan dan pengawetan daging adalah abon, dendeng sayat, dendeng giling, dendeng ragi, daging asap, kornet, sosis dan sebagainya.

Daging asap adalah daging yang dipotong berupa lembaran tipis dan diberi bumbu, kemudian diasapkan. Pengasapan pada daging dimaksudkan untuk memberikan cita rasa asap, disamping untuk meningkatkan keawetan dan kestabilan warna daging.

Permasalahan

Adapun permasalahan pada daging asap yaitu membandingkan kualitas daging yang telah diberi curing dengan yang tidak diberikan curing baik dari segi warna daging, tekstur, kekenyalan, keempukan, kebasahan dan residu pengunyahan.

Maksud dan Tujuan

Maksud dari praktikum pengolahan curing dan daging asap yaitu agar dapat mengetahui proses pengolahan dan perbedaan daging asap yang telah diberi curing dengan daging asap tanpa curing.

Tujuan dari praktikum pengolahan curing dan daging asap yaitu untuk mengetahui proses dasar pengolahan (curing dan pengasapan), mengetahui cara curing dengan metode curing kering, membandingkan perbedaan karakteristik daging asap dengan atau tanpa kuring dan melakukan pengamatan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi selama pengasapan.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Daging

Daging merupakan bahan pangan yang penting dalam memenuhi kebutuhan gizi. Selain mutu proteinnya tinggi, pada daging terdapat pula kandungan asam amino esensial yang lengkap dan seimbang (Anonim, 2008).

Definisi daging secara umum adalah bagian dari tubuh hewan yang disembelih yang aman dan layak dikonsumsi manusia. Termasuk dalam definisi tersebut adalah daging atau otot skeletal dan organ-organ yang dapat dikonsumsi (edible offals) (Lukman, 2008).

Menurut strukturnya daging terdiri dari jaringan otot, jaringan ikat, pembuluh darah dan jaringan syaraf. Menurut Lawrie (1995) yang dimaksud dengan daging adalah daging tanpa jaringan pengikat khusus atau tendo sehingga lunak dan berasal dari ternak yang digunakan sebagai bahan makanan.

(Khatimah, 2008)

Daging adalah semua bagian tubuh ternak yang dapat dan wajar dimakan termasuk jaringan-jaringan dan organ tubuh bagian dalam seperti hati, ginjal, dan lain-lain. Soeparno (1994) mendefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya. Dengan didasarkan pada definisi tersebut maka organ-organ dalam (jeroan) dan produk olahan seperti corned termasuk dalam kategori daging. Namun demikian sering dalam kehidupan sehari-hari yang disebut dengan daging adalah semata-mata jaringan otot, meskipun benar bahwa komponen utama penyusun daging adalah otot, tetapi tidaklah sama otot dengan daging (Suharyanto, 2008).

Daging adalah salah satu bahan pangan sumber protein hewani yang sangat dibutuhkan oleh manusia, karena zat-zat makanan yang dikandungnya sangat diperlukan untuk kehidupan manusia, terutama bagi anak-anak yang sedang tumbuh (Rachmawan, 2001).

Daging merupakan salah satu bahan pangan yang mudah rusak (perishable food) karena daging merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme. Preservasi daging mempunyai tujuan antara lain untuk mengamankan daging dari kerusakan atau pembusukan oleh mikroorganisme dan memperpanjang masa simpan (shelf life daging). Preservasi berarti menghambat atau membatasi reaksi-reaksi enzimatis, khemis dan kerusakan fisik daging (Soeparno, 1992). Menurut Soesanto (1985) cara pengawetan bahan pangan pada prinsipnya dikelompokkan menjadi 2 yaitu pengawetan tanpa perubahan bentuk dari bahan pangan tersebut dan pengawetan dengan perubahan bentuk dan kadar air dari bahan pangan tersebut. Ditambahkan Soeparno (1992) pengawetan yang menghasilkan produk yang sifat fisiknya berubah dari bahan bakunya dikenal dengan istilah pengolahan. Berdasarkan keadaan fisiknya, daging dapat dikelompokkan menjadi: 1) daging segar yang dilayukan atau tanpa pelayuan; 2) daging segar yang dilayukan dan didinginkan (daging dingin); 3) daging segar yang dilayukan, didinginkan dan dibekukan (daging beku); 4) daging masak; 5) daging asap dan 6) daging olahan. Salah satu ciri khas pengolahan adalah adanya formulasi produk daging olahan. Dalam proses formulasi, macam ingredien yang dipilih dan jumlah yang digunakan bervariasi sesuai dengan hasil produk yang diinginkan. Tujuan utama formulasi adalah untuk menghasilkan daging olahan dengan penampakan yang kompak, cita rasa dan sifat-sifat yang stabil dan seragam. hasil formulasi tergantung pada karakteristik komposisi dan bahan dasar yang ditambahkan dalam produk daging olahan (Khatimah, 2008)

Lailasuhairi (2008) menyatakan bahwa karkas tersusun atas kurang lebih enam ratus jenis otot yang berbeda ukuran dan bentuknya, susunan syaraf dan persediaan darahnya serta perlekatannya pada bagian tulang dan tujuan serta jenis geraknya. Karkas sapi dapat dilihat pada Gambar 1. Kesehatan daging merupakan bagian yang bagi kesehatan makanan dan selalu menjadi pokok permasalahan yang mendapatkan perhatian khusus dalam penyediaan daging bagi konsumen.

Gambar 1 Bagian-bagian karkas sapi.

Daging sapi mempunyai berbagai macam jenis potongan daging sapi dapat digunakan untuk beberapa jenis masakan, misalnya saja potongan sirloin dapat digunakan untuk steik. Karkas daging sapi muda dapat dipotong menjadi 7 potongan, leg (paha), loin (lulur), rib (iga), breas (dada), shoulder (lengan), neck (leher), dan shank (sengkel). Untuk masalah kontinental hampir semua daging sapi dapat diolah dengan teknik roast atau grill. Di Indonesia setiap bagian potongan daging dapat dimasak dengan berbagai macam jenis masakan, misalnya saja potongan has luar dapat dimasak empal atau semur, potongan bagian paha dapat dimasak sup, dan juga rendang. Namun, demikian untuk mendapatkan olahan yang benar-benar enak dimakan, tetap harus tahu teknik cara mengolah daging yang betul (Anonim, 2008).

Daging dibentuk oleh 2 bagian utama yaitu serat-serat otot berbentuk rambut dan tenunan pengikat. Serat-serat otot daging diikat kuat oleh tenunan pengikat dan menghubungkannya dengan tulang. Bentuk serat-serat otot daging dengan tenunan pengikatnya dapat dilukiskan seperti pada gambar berikut (Dwiari, 2008).

.

Gambar 2. Penampang Otot.

Daging terdiri dari tiga komponen utama, yaitu jaringan otot (muscle tissue), jaringan lemak (adipose tissue), dan jaringan ikat (connective tissue). Banyaknya jaringan ikat yang terkandung di dalam daging akan menentukan tingkat kealotan/kekerasan daging. Otot daging yang terdapat pada hewan ada 3 macam, yaitu otot daging bergaris melintang, otot daging halus, dan otot jantung yang mempunyai bentuk khas (Anonim, 2008).

Kualitas karkas dan dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan sesudah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging antara lain adalah genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan termasuk bahan additif (hormon, antibiotik dan mineral). Faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging antara lain meliputi metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, pH karkas dan daging, bahan tambahan termasuk enzim pengempuk daging, hormon dan antibiotika, lemak intramuskular atau marbling, metode penyimpanan dan preservasi, macam otot daging dan lokasi otot daging (Tabrany, 2001).

Jenis daging juga dapat dibedakan berdasarkan umur sapi yang disembelih. Daging sapi yang dipotong pada umur sangat muda (3-14 minggu) disebut veal, yang berwarna sangat terang. Daging yang berasal dari sapi muda umur 14-52 minggu disebut calf (pedet), sedangkan yang berumur lebih dari satu tahun disebut beef (Anonim, 2008).

Berdasarkan umur, jenis kelamin, dan kondisi seksual, daging sapi (beef) berasal dari: (1) steer (sapi jantan yang dikastrasi sebelum mencapai dewasa kelamin), (2) heifer (sapi betina yang belum pernah melahirkan), (3) cow (sapi betina dewasa/pernah melahirkan), (4) bull (sapi jantan dewasa) dan (5) stag (sapi jantan yang dikastrasi setelah dewasa) (Anonim, 2008).

Komponen utama daging adalah lemak, protein, abu dan air. Peningkatan komponen yang satu akan menyebabkan penurunan komponen yang lain (Lin, 1981). Protein adalah komponen bahan kering yang terbesar dari daging. Daging mempunyai nilai nutrisi tinggi karena daging mengandung asam-asam amino esensial yang lengkap dan seimbang (Frankel, 1983). Komposisi kimia daging adalah air 75% (65-80%); protein 18,5% (16-22%); substansi-substansi non protein yang larut 3,5%; lemak 3% (1,5-13%) dan sangat bervariasi (Lawrie, 1995). Nilai kalori daging banyak ditentukan oleh kandungan lemak intraselular di dalam serabut-serabut otot atau dikenal dengan istilah marbling atau intramuskular (Khatimah, 2008)

Daging merupakan sumber utama untuk mendapatkan asam amino esensial. Asam amino esensial terpenting di dalam otot segar adalah alanin, glisin, asam glutamat, dan histidin. Daging sapi mengandung asam amino leusin, lisin, dan valin yang lebih tinggi daripada daging babi atau domba. Pemanasan dapat mempengaruhi kandungan protein daging. Daging sapi yang dipanaskan pada suhu 70o C akan mengalami pengurangan jumlah lisin menjadi 90 persen, sedangkan pemanasan pada suhu 160o C akan menurunkan jumlah lisin hingga 50 persen. Pengasapan dan penggaraman juga sedikit mengurangi kadar asam (Lailasuhairi, 2008).

Ternak rata-rata menghasilkan karkas (bagian badan hewan) 55%, macam-macam hasil sampingan 9%, kulit 6% dan bahan lainnya 30%. Daging yang baik ditentukan oleh warna, bau, penampakan dan kekenyalan. Semakin daging tersebut lembab atau basah serta lembek (tidak kenyak) menunjukan kualitas daging yang kurang baik (Anonima, 2008). Hal ini didukung oleh pendapat Anonimb (2008) bahwa Keunggulan lain, protein daging lebih mudah dicerna ketimbang yang berasal dari nabati. Bahan pangan ini juga mengandung beberapa jenis mineral dan vitamin.

Kandungan zat-zat makanan di dalam daging mudah sekali rusak oleh lingkungan sekitar, oleh karena itu diperlukan penanganan yang baik. Penanganan daging yang baik harus dimulai sejak ternak itu sebelum dipotong, pada saat pemotongan dan setelah pemotongan (Rachmawan, 2001).

Berdasarkan asal hewan, daging dikategorikan ke dalam 4 (empat) kelompok, yaitu: a. daging merah, yaitu daging yang berasal dari kelompok hewan berkaki empat yang diternakkan seperti sapi, kerbau, kambing, dan sebagainya, b. daging unggas (poultry), yaitu daging yang berasal dari ternak unggas seperti ayam, kalkun, puyuh, itik, dan lain sebagainya, c. daging ikan, adalah semua daging yang berasal dari produk perikanan seperti ikan, udang, kepiting, dan lain-lain, dan d. daging dari hewan liar, yaitu daging yang berasal dari hewan-hewan liar dan potensial untuk dibudidayakan seperti rusa, kijang, dan lain-lain. (Suharyanto, 2008).

Dalam rangkaian dan tingkatan proses setelah pemotongan ternak, berdasarkan kondisi fisiknya maka daging dikategorikan sebagai berikut : a. daging segar, yaitu daging yang baru didapat dari pemotongan baik setelah pelayuan maupun tidak, b. daging dingin, yaitu daging segar yang telah dilayukan kemudian didinginkan, c. daging beku, yaitu daging segar yang telah dilayukan, didinginkan kemudian dibekukan, d. daging masak, e. daging asap, dan f. daging olahan (Suharyanto, 2008).

B. Daging Asap

Dengan meluasnya konsumsi daging, sehingga telah banyak bentuk hasil olahan yang berasal dari daging seperti daging korned, sosis, dendeng, abon dan daging asap dan lain-lain. Bentuk-bentuk pengolahan ini pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh tingkat ekonomi yang mengolahnya sehingga hasil olahan tersebut dapat juga merupakan cerminan dari tingkat ekonomi yang mengkonsumsinya (Maruddin, 2004).

Pada daerah yang tingkat ekonominya masih dibawah menengah, pengolahan daging pada umumnya masih bersifat tradisional seperti metode pengasapan. Namun demikian, daging asap belum populer dikonsumsi masyarakat di beberapa daerah di Indonesia khususnya di Sulawesi Selatan, sehingga perlu diperkenalkan lebih lanjut untuk menjadi salah satu alternatif variasi olahan daging sapi yang merupakan bahan pangan bergizi (Maruddin, 2004).

Daging asap adalah irisan daging yang diawetkan dengan panas dan asap yang dihasilkan dari pembakaran kayu keras yang banyak menghasilkan asap dan lambat terbakar. Asap mengandung senyawa fenol dan formal dehida,masing-masing bersifat bakterisida (membunuh bakteri). Kombinasi kedua senyawa tersebut juga bersifat fungisida (membunuh kapang). Kedua senyawa membentuk lapisan mengkilat pada permukaan daging. Panas pembakaran juga membunuh mikroba, dan menurunkan kadar air daging. Pada kadar air rendah daging lebih sulit dirusak oleh mikroba (Anonim, 2008).

Daging asap dihasilkan dari proses pengasapan. Metode pengasapan ada 2 yaitu (a) pengasapan dingin (cold smoking) yang dilakukan pada suhu 20-25 oC (tidak lebih dari 28oC), pada kelembaban 70-80%, selama beberapa jam sampai beberapa hari; (2) pengasapan panas (hot smoking) yang dilakukan pada suhu awal 30-35oC dan akhir 50-55oC bahkan dapat mencapai 75-80oC (Lukman, 2008).

Pengasapan adalah salah satu cara memasak, memberi aroma, atau proses pengawetan makanan, terutama daging, ikan. Makanan diasapi dengan panas dan asap yang dihasilkan dari pembakaran kayu, dan tidak diletakkan dekat dengan api agar tidak terpanggang atau terbakar (Anonim, 2008).

Sebelum diasapi, daging biasanya direndam di dalam air garam. Beberapa jenis ikan tidak perlu direndam lebih dulu di dalam air garam, Setelah dilap dan dikeringkan, makanan digantung di tempat pengasapan yang biasanya memiliki cerobong asap. Sebagai kayu asap biasanya dipakai serpihan kayu yang bila dibakar memiliki aroma harum seperti kayu pohon ek dan bukan kayu yang memiliki damar. Ke dalam kayu bakar bisa ditambahkan rempah-rempah seperti cengkeh dan akar manis (Anonim, 2008).

Sewaktu pengasapan berlangsung, makanan harus dijaga agar seluruh bagian makanan terkena asap. Waktu pengasapan bergantung ukuran potongan daging dan jenis ikan. Api perlu dijaga agar tidak boleh terlalu besar. Bila suhu tempat pengasapan terlalu panas, asap tidak dapat masuk ke dalam makanan. Sewaktu pengasapan dimulai, api yang dipakai tidak boleh terlalu besar (Anonim, 2008).

Pengasapan merupakan salah satu bentuk pengawetan produk dengan menggunakan garam, panas, dan asap. Produk-produk makanan yang diasap dapat awet karena: (1) Panas dari pembakaran kayu dapat menghambat mikroorganisme. (2). Asap mengandung komponen antimikroba (bakterisida / bakteristatik). (3). Mengandung antioksidan sehingga dapat terhindar dari ketengikan. (4). Sebagian asap membentukkulit tipis sehingga dapat terhindar dari kontaminasi ulang (Dwiari, 2008).

Asap juga mengandung uap air, asam formiat, asam asetat, keton alkohol dan karbon. Rasa dan aroma khas produk pengasapan terutama disebabkan oleh senyawa fenol (quaiacol, 4-mettyl-quaiacol, 2,6-dimetoksi fenol) dan senyawa karbonil (Anonim, 2008).

Ada dua cara pengasapan yaitu cara tradisional dan cara dingin. Pada cara tradisional, asap dihasilkan dari pembakaran kayu atau biomassa lainnya (misalnya sabuk kelapa serbuk akasia, dan serbuk mangga). Pada cara basah, bahan direndam di dalam asap yang sudah di cairkan. Setelah senyawa asap menempel pada daging, kemudian daging dikeringkan. (Anonim, 2008).

Walaupun mutunya kurang bagus dibanding pengasapan dingin, Pengasapan tradisional paling mudah diterapkan oleh industri kecil. Asap cair yang diperlukan untuk pengasapan dingin sulit ditemukan di pasaran. Karena itu teknologi yang diuraikan lebih ditekankan pada pengasapan tradisional (Anonim, 2008).

Pengasapan memiliki tujuan untuk: (1). Pengawetan. (2). Membentuk sifat organoleptik yang meliputi: a. Cita rasa asap (smoky flavor); b. Warna spesifik (coklat mahoni), terutama pada produk-produk daging kuring. Warna coklat terbentuk dari nitrosomioglobin yang kontak dengan panas sehingga menyebabkan terjadinya reaksi pencoklatan; c. Meningkatkan keempukan daging (Dwiari, 2008).

Menurut Dwiari (2008) Komponen asap terdiri atas fraksi uap dan fraksi partikel yang dapat dibagi atas lima kelompok, yaitu:

a. Kelompok fenol: paling banyak terdiri atas fraksi uap, selain itu terdapat juga fraksi partikel;

b. Kelompok alkohol: hanya terdiri atas fraksi uap;

c. Kelompok asam-asam organik: meliputi fraksi uap dan fraksi partikel;

d. Senyawa karbonil: paling banyak terdiri atas fraksi partikel, selain itu terdapat juga fraksi uap;

e. Senyawa hidrokarbon: hanya terdiri atas fraksi partikel. Dua senyawa hidrokarbon yang merupakan senyawa polisiklik dan bersifat karsinogenik (dapat menyebabkan kanker) adalah benzapirene dan dibenzanthrasene. Senyawa ini akan terbentuk jika suhu pembakaran bahan bakar terlalu tinggi. Bahaya karsinogenesis tersebut dapat diabaikan karena senyawa karsinogen yang ditemukan jumlahnya sangat rendah.

Pengasapan akan menghasilkan produk asap yang bermutu prima jika faktor-faktor yang mempengaruhi proses pengasapan tersebut diterapkan dengan baik. Menurut Dwiari (2008) Faktor-faktor yang mempengaruhi pengasapan adalah sebagai berikut:

1. Suhu pengasapan

Suhu awal pengasapan sebaiknya rendah agar penempelan dan pelarutan asap berjalan efektif. Suhu tinggi akan menyebabkan air cepat menguap dan bahan yang diasap cepat matang tetapi flavor asap yang diinginkan belum terbentuk maksimal.

2. Kelembaban udara

Kelembaban udara harus diatur sedemikian rupa agar permukaan bahan yang diasap tidak terlalu cepat mengering dan pengeringan berjalan tidak terlalu lama. Jika kelembaban udara terlalu rendah maka permukaan bahan yang diasap akan cepat mengering. Sebaliknya, jika kelembaban udara terlalu tinggi maka proses pengeringan akan berjalan lambat. Sebagai contoh pada pengasapan ikan, kelembaban udara yang idealsebesar 60 – 70% jika suhu sekitar 290 C. Jika kelembaban udara kurang dai 60% maka permukaan ikan akan cepat mengering, jika diatur lebih dari 70% maka proses pengeringan lambat.

3. Jenis kayu

Serutan kayu dan serbuk gergaji dari jenis kayu keras cocok untuk pengasapan dingin. Batang atau potongan kayu dari kayu keras cocok untuk pengaapan panas. Kayu yang mengandung resin atau damar harus dihindari karena akan menimbulkan rasa pahit.

4. Jumlah asap, ketebalan asap, dan kecepatan aliran asap dalam alat pengasap

Ketiga faktor ini akan mempengaruhi hasil produk akhir. Jika jumlah asap yang kontak dengan bahan sedikit, maka cita rasa asap yang dihasilkan pun berkurang. Demikian pula dengan kedua faktor yang lainnya.

5. Mutu bahan yang diasap

Untuk memperoleh produk asap yang berkualitas baik, maka mutu bahan yang akan diasap harus yang bermutu baik pula

6. Perlakuan sebelum pengasapan

Sebelum pengasapan, biasanya bahan pangan mengalami proses penggaraman atau proses kuring. Bahan yang langsung diasap akan berbeda sifat organoleptiknya dibandingkan bahan yang mengalami perlakuan pendahuluan. Selanjutnya jumlah garam dan bahan kuring yang digunakan juga akan mempengaruhi hasil akhir.

Proses kuring adalah proses pengolahan daging yang lebih luas daripada proses penggaraman yang konvensional; dalam pengolahan digunakan aditif lain selain garam, dapat dilanjutkan dengan pengasapan / pengeringan. (Hariningsih, 2008).

Pada prinsipnya semua jenis daging dapat mengalami proses kuring, tetapi yang lebih baik adalah daging sapi atau daging yang memiliki pigmen merah karena produk akhir akan berwarna merah mahoni (kecoklatan), warna yang diinginkan untuk daging yang diasap. Menurut Dwiari (2008) Adapun bahan dasar untuk kuring terdiri atas:

1. Garam, berfungsi untuk mengawetkan (tujuan utama) dan membentuk cita rasa khas. Kadar garam produk kuring umumnya 2 - 5%, sedangkan untuk “Chinese Ham” (daging babi masakan Cina) kadar garamnya 15%.

2. Gula, berfungsi untuk mengawetkan (tujuan utama) dan membentuk cita rasa spesifik bersama dengan garam.

3. Nitrat, fungsinya membentuk warna merah yang spesifik dan sebagai pengawet.

Akibat proses kuring, cairan menetes dari daging dan sebagian protein larut-air akan hilang. Susut protein akan terjadi jika digunakan konsentrasi larutan garam 26%. Protein yang biasanya berdifusi ke larutan, akan tinggal dalam daging jika larutan garam dikocok dan waktu curing diperpendek (Bahari, 2008).

Tiamin adalah satu satunya vitamin yang selalu susut dalam pengolahan yang melibatkan perlakuan pengeringan. Susut tiamin dapat meningkat dengan tajam jika daging yang diawetkan dengan kuring tersebut dikalengkan dan dipasteurisasi (Bahari, 2008).

Daging yang diawetkan dengan kuring dapat mengandung nitrosamina (sekelompok senyawaan kimia yang bersifat karsinogen). Nitrosoma dapat muncul dalam tubuh manusia apabila prazatnya, yaitu amina dan nitrat atau nitrit saling bersentuhan dalam lambung (Bahari, 2008).

METODOLOGI PRAKTIKUM

Waktu dan Tempat

Praktikum Ilmu & Teknologi Pengolahan Daging mengenai produk daging asap dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 08 November 2008, pukul 15.00 WITA sampai selesai bertempat di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar.

Materi Praktikum

a. Uji Organoleptik Daging Segar

Alat-alat yang digunakan dalam uji organoleptik daging segar yaitu piring dan pisau.

Bahan-bahan yang digunakan dalam uji organoleptik daging segar yaitu yaitu daging segar dan kertas uji.

b. Produk Daging Asap

Alat-alat yang digunakan dalam pengolahan daging asap yaitu talenan, piring, pisau, tungku api dan timbangan.

Bahan-bahan yang digunakan daam pengolahan daging asap yaitu curing additive (sendawa), korek api, benang kasur, kertas uji dan tempurung kelapa.

Metode Praktikum

b. Uji Organoleptik Daging Segar

Pertama-tama memotong daging menjadi bagian-bagian kecil lalu melakukan pengujian organoleptik dagiing segar dan mengisi tabel uji organoleptik

b. Produk Daging Asap

Membersihkan daging dari lemak dan tendon yang masih ada lalu memotong daging dengan ukuran berat ± 100 g dibagi 3 bagian, masing-masing 25 g, tiap potongan 25 %, 50%, 75% serta bagian lain dengan perlakuan tanpa curing (kontrol). Biarkan selama 1 jam, setelah itu daging di ikat dengan tali kemudian mengasapkannya lalu melakukan pengamatan.

Analisa Data

Paramater yang diuji = (∑ panelis yang memilih x skala) + …dst

∑ panelis

PEMBAHASAN

A. Uji Organoleptik Daging Segar

Tabel 1. Hasil Uji Organoleptik pada Daging

Parameter

Skala

Keterangan

Warna

6

Agak merah gelap

Tekstur

5

Agak halus

Kekenyalan

5

Agak Kenyal

Kebasahan

5

Agak basah

Keempukan

6

Empuk

Residu Pengunyahan

2

Banyak

Sumber : Data Hasil Praktikum Ilmu & Teknologi Pengolahan Daging, 2008.

Berdasarkan tabel diatas, maka diperoleh hasil uji organoleptik daging segar yaitu warna yang diperoleh agak merah gelap dengan skala 6. Hal ini menandakan daging tersebut masih segar dan baru saja dipotong. Hal ini sesuai dengan pendapat Anonim (2008) yang menyatakan bahwa warna daging sapi yang baru diiris biasanya merah gelap. Warna tersebut berubah menjadi terang (merah ceri) bila daging dibiarkan terkena oksigen. Perubahan warna merah gelap menjadi terang tersebut bersifat reversible (dapat balik). Namun, bila daging tersebut terlalu lama terkena oksigen, warna merah terang akan berubah menjadi cokelat. Hal ini didukung oleh pendapat Anonim (2008) yang menyatakan bahwa Daging sapi biasanya dilihat dari warna. Semakin tua warnanya maka makin tua umur dan ketebalan lemaknya. Jadi warna daging yang masih muda lebih empuk dibanding warna yang tua.

Pada parameter kekenyalan, dapat dilihat hasil uji organoleptik daging segar yaitu agak kenyal dengan skala 5. Hal ini mungkin disebabkan karena kandungan jaringan ikat pada daging dan juga karena daging tersebut berasal dari ternak yang tua. Hal ini sesuai dengan pendapat Anonim (2008) yang menyatakan bahwa daging terdiri dari tiga komponen utama, yaitu jaringan otot (muscle tissue), jaringan lemak (adipose tissue), dan jaringan ikat (connective tissue). Banyaknya jaringan ikat yang terkandung di dalam daging akan menentukan tingkat kealotan/kekerasan daging. Hal ini didukung oleh pendapat Suharyanto (2008) yang menyatakan bahwa banyaknya jaringan ikat yang terkandung di dalam daging akan menentukan tingkat kealotan / kekerasan daging. Keempukan daging ditentukan oleh kandungan jaringan ikat. Semakin tua usia hewan, susunan jaringan ikat semakin banyak, sehingga daging yang dihasilkan semakin alot.

Pada pengujian kebasahan, maka dari hasil uji organoleptik daging segar dapat diketahui daging tersebut agak basah dengan skala 5. Hal ini menandakan dagin tersebut masih baik. Hal ini seusia dengan pendapat Didiet (2008), yang menyatakan bahwa Ciri-ciri daging sapi yang baik adalah berwarna merah terang/cerah, mengkilap, tidak pucat dan tidak kotor. Secara fisik daging elastis, sedikit kaku dan tidak lembek. Jika dipegang masih terasa basah dan tidak lengket di tangan. Dari segi aroma, daging sapi sangat khas (gurih).

Pada pengujian residu pengunyahan, maka diperoleh hasil uji organoleptik daging segar yaitu banyak dengan skala 2. Hal ini menandakan daging tersebut kurang empuk karena residu pengunyahan dapt menjadi parameter apakah daging tersebut empuk atau tidak. Hal ini sesuai dengan pendapat Didiet (2008), yang menyatakan bahwa untuk mengukur mutunya, daging dapat diketahui dari keempukannya yang dapat dibuktikan dengan sifatnya yang mudah dikunyah.

B. Uji Organoleptik Daging Asap

a. Sampel Pertama 25% (Tipe 123)

Tabel 2. Uji Organoleptik pada Daging Asap Dengan Curing 25%

Parameter

Skala

Keterangan

Warna

5

Merah Cerah

Tekstur

4

Agak kasar

Kekenyalan

5

Agak Kenyal

Kebasahan

4

Agak kering

Keempukan

3

Keras

Residu Pengunyahan

3

Agak Banyak

Sumber : Data Hasil Praktikum Ilmu & Teknologi Pengolahan Daging, 2008.

b. Sampel Kedua 50% (Tipe 321)

Tabel 3. Uji Organoleptik pada Daging Asap Dengan Curing 50%

Parameter

Skala

Keterangan

Warna

5

Merah Cerah

Tekstur

3

Kasar

Kekenyalan

5

Agak Kenyal

Kebasahan

3

Kering

Keempukan

3

Keras

Residu Pengunyahan

2

Banyak

Sumber : Data Hasil Praktikum Ilmu & Teknologi Pengolahan Daging, 2008.

c. Sampel Ketiga 75% (Tipe 432)

Tabel 4. Uji Organoleptik pada Daging Asap Dengan Curing 75%

Parameter

Skala

Keterangan

Warna

7

Agak Coklat

Tekstur

3

Kasar

Kekenyalan

5

Agak Kenyal

Kebasahan

3

Kering

Keempukan

4

Agak Keras

Residu Pengunyahan

3

Agak Banyak

Sumber : Data Hasil Praktikum Ilmu & Teknologi Pengolahan Daging, 2008.

d. Sampel Keempat

Tabel 5. Uji Organoleptik pada Daging Asap Tanpa Curing (kontrol)

Parameter

Skala

Keterangan

Warna

6

Merah Gelap

Tekstur

3

Kasar

Kekenyalan

5

Agak Kenyal

Kebasahan

3

Kering

Keempukan

3

Keras

Residu Pengunyahan

2

Banyak

Sumber : Data Hasil Praktikum Ilmu & Teknologi Pengolahan Daging, 2008.

Berdasarkan hasil uji organoleptik daging asap, maka dapat diketahui warna dari masing-masing sampel merah cerah dengan skala 5, dan sampel kedua merah cerah dengan skala 5, sampel ketiga agak coklat dengan skala 7 dan sampel terakhir yaitu tanpa menggunakan curing (kontrol) berwarna agak coklat dengan skala 6. Setelah membandingkan warna daging asap baik yang telah diberi curing maupun yang tidak diberikan curing, maka dapat diketahui warna daging curing lebih baik dari pada warna daging asap tanpa curing. Warna yang terbentuk pada daging asap, dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti komponen asap, reaksi Maillard dan perlakuan curing pada daging sebelum pengasapan dan daging yang telah diasapkan berwarna merah mahoni atau kecoklatan. Hal ini sesuai dengan pendapat Anonim (2008) bahwa kisaran warna yang terbentuk dari proses pengasapan adalah dari kuning emas hingga coklat tua. Pembentukan warna berhubungan erat dengan reaksi Maillard yang terbentuk karena reaksi antara senyawa karbonil asap dengan komponen amino di permukaan daging. Hal ini juga didukung oleh pendapat Dwiari (2008) yang mengatakan bahwa pada prinsipnya semua jenis daging dapat mengalami proses kuring, tetapi yang lebih baik adalah daging sapi atau daging yang memiliki pigmen merah karena produk akhir akan berwarna merah mahoni (kecoklatan), warna yang diinginkan untuk daging yang diasap.

Dari segi tekstur, hasil uji organoleptik yang diperoleh tekstur daging pada sampel yang tidak menggunakan curing lebih keras daripada daging asap yang telah diberi curing. Hal ini karena dengan penggunaan curing seperti sendawa yang termasuk sebagaibahan tambahan pangan dapat mempengaruhi tekstur daging asap. Hal ini sesuai dengan pendapat Putra (2008) yang mengatakan bahwa sendawa mampu mempertahankan warna, aroma, dan tekstur selama proses pemasakan sehingga memberikan daya tarik sensorik. Hal ini juga didukung oleh pendapat Anonim (2008) yang menyatakan bahwa BTP adalah bahan yang tidak dikonsumsi langsung sebagai makanan dan tidak merupakan bahan baku pangan, dan penambahannya ke dalam pangan ditujukan untuk mengubah sifat-sifat makanan seperti bentuk, tekstur, warna, rasa, keken­talan, dan aroma, untuk mengawetkan, atau untuk mempermudah proses pengolahan.

Nilai kekenyalan dari daging asap baik dengan maupun tanpa curing yaitu agak kenyal dengan skala 5. Jika melihat hasil yang diperoleh seharusnya dengan perlakuan curing, tekstur yang diperoleh lebih kenyal atau lebih baik, dibandingkan dengan yang tanpa perlakuan curing. Hal ini dapat dilihat dapat dilihat dari tujuan dilakukannya curing yaitu untuk memperoleh produk yang lebih baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Anonim (2008) bahwa curing bertujuan untuk memberikan warna daging yang stabil, aroma, tekstur, kekenyalan, dan kelezatan yang baik.

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari uji organoleptik daging asap, maka dari segi kebasahan dapat diketahui daging asap yang dihasilkan kering kecuali pada sampel pertama yang menggunakan curing 25% yaitu agak kering. Hal ini dikarenakan metode yang digunakan dalam pembuatan daging asap yaitu dengan cara tradisional dan bukan menggunakan cara basah. Hal ini sesuai dengan pendapat Anonim (2008) yang menyatakan bahwa Ada dua cara pengasapan yaitu cara tradisional dan cara dingin. Pada cara tradisional, asap dihasilkan dari pembakaran kayu atau biomassa lainnya (misalnya sabuk kelapa serbuk akasia, dan serbuk mangga). Pada cara basah, bahan direndam di dalam asap yang sudah di cairkan. Setelah senyawa asap menempel pada daging, kemudian daging dikeringkan.

Berdasarkan hasil uji organoleptik daging asap, maka dapat diketahui keempukan dari keempat sampel adalah keras kecuali pada sampel yang menggunakan curning 75%. Hal ini jika melihat hasil yang diperoleh seharusnya dengan perlakuan curing, keempukan yang diperoleh lebih empuk atau lebih baik, dibandingkan dengan daging yang tanpa perlakuan curing. Hal ini dapat dilihat dapat dilihat dari salah satu dari tujuan dilakukannya pengasapan daging yaitu untuk meningkatkan keempukan daging. Hal ini sesuai dengan pendapat Dwiari (2008), yang menyatakan bahwa pengasapan memiliki tujuan untuk: (1). Pengawetan; (2). Membentuk sifat organoleptik yang meliputi: a. Cita rasa asap (smoky flavor); b. Warna spesifik (coklat mahoni), terutama pada produk-produk daging kuring; (c). Meningkatkan keempukan daging.

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari parameter residu pengunyahan, maka dapat diketahui daging yang tidak menggunakan curing lebih banyak residu pengunyahannya dari pada daging yang menggunakan curing. Hal ini sesuai dengan tingkat kekerasan daging tersebut. Peningkatan residu pegunyahan sama dengan peningkatan daya putus dari daging tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Anonim (2008), yang menyatakan bahwa semakin alot daging, maka daya putusnya semakin tinggi.

PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Berdasarkan daya terima panelis secara umum terhadap warna, tekstur, kebasahan keempukan dan residu pengunyahan, tidak terdapat perbedaan yang cukup mencolok antara keempat perlakuan yaitu daging asap yang menggunakan curing dengan jumlah curing yang berbeda dengan daging asap tanpa menggunakan curing (kontrol). Hal ini disebabkan oleh panelis yang menguji daging asap ini tidak melakukan dengan tidak benar dan terkesan asal-asalan.

2. Dengan melakukan pengasapan pada daging dapat memberikan cita rasa asap, disamping untuk meningkatkan keawetan dan kestabilan warna daging. Hal ini menjadi solusi dari pengolahan daging yang dapat memperpanjang masa simpan daging.

3. Dengan penggunaan curing dalam hal ini penambahkan sendawa (garam nitrat atau garam nitrit) ke dalam potongan daging sebagai bahan pengawet, pemberi cita rasa, dan mempertahankan warna merah (pink) cerah pada daging. Namun perlu diketahui penggunaan yang berlebih dapat menganggu kesehatan yang memakannya.

4. Dalam melakukan uji organoleptik sebaiknya seorang panelis adalah orang yang peka akan rasa, bukan perokok, dalam melakukan uji organoleptik kondisinya sehat dan dalam keadaan stabil (tidak lapar) dan setelah melakukan uji organoleptik meminum air.

Saran

Disarankan kepada para panelis dalam melakukan uji organoleptik untuk menilai dengan baik, meminum air sesudah melakukan uji organoleptik dan tidak lapar maupun kekenyangan karena dapat mempengaruhi hasil uji organoleptik.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2008. Bahan Tambahan Pangan. http://www.ilmupangan.com. Diakses tanggal 14 November 2008.

______, 2008. Daging Asap (Daging Sale) Cara Tradisional. http://www.iptek.net.id. Diakses tanggal 10 November 2008.

______, 2008. Lebih jauh Mengenal Daging Sapi. http://cookingclub.sharp.indonesia.com. Diakses tanggal 14 November 2008.

______, 2008. Mengapa Kita Perlu Makan Daging. http://www.depkes.go.id. Diakses tanggal 14 November 2008.

______, 2008. Pengasapan. http://id.wikipedia.org. Diakses tanggal 14 Noember 2008.

______, 2008. Tips Membedakan Beragam Daging. http://www.disnak-jatim.go.id. Diakses tanggal 10 November 2008.

Bahari, A.W. 2008. Pengeringan Daging. http://windubahari.wordpress.com. Diakses tanggal 14 November 2008.

Didiet, 2008. Tips Memilih Daging. http://peternakan-didiet.blogspot.com. Diakses

Dwiari, S.R. 2008. Teknologi Pangan. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta. Diakses tanggal 10 Nomber 2008.

Hariningsih, Dwi. 2008. Teknologi Hasil Pangan, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta. Diakses tanggal 10 November 2008

Khatimah, K. 2008. Studi Tentang Tingkat Permintaan Daging Segar dan Daging Olahan (Corned, Sosis, Dendeng) di Supermarket Kodya Malang. http://digilip.itb.ac.id. Diakses tanggal 14 November 2008.

Lailasuhairi, 2008. Ilmu Daging. http://lailasuhairi.blogspot.com. Diakses tanggal 14 November 2008.

Lukman, D.W. 2008. Daging dan Produk Olahannya. http://higiene-pangan.blogspot.com. Diakses tanggal 18 November 2008.

Maruddin, F. 2004. Kualitas Daging Sapi Asap Pada Lama Pengasapan dan Penyimpanan. http://www.pascaunhas.net. Diakses tanggal 18 November 2008.

Putra, R.P. 2008. Waspadai Pembentukan Nitrosamin pada Daging yang Diawetkan dengan Sendawa. http://www.kendariekspress.com. Diakses tanggal 18 November 2008.

Rachmawan, O. 2001. Penanganan Daging. Departemen Pendidikan Nasional Proyek Pengembangan Sistem dan Stnadar Pengelolaan SMK. Direktorart Pendidikan Menengah Kejuruan, Jakarta. Diakses tanggal 10 November 2008.

Suharyanto, 2007. Kuliah Dasar Teknologi Hasil Ternak. http://suharyanto.wordpress.com. Diakses tanggal 14 November 2008.

Tabrany, H. 2001. Pengaruh Proses Pelayuan Terhadap Keempukan Daging. Makalah Falsafah Sains Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, Bandung. Diakses tanggal 10 November 2008.

LAMPIRAN

A. Perhitungan Hasil Uji Organoleptik Daging Segar.

Warna = 1 (0) + 2 (0) + 3 (0) + 4 (0) + 5 (0) + 6 (4) + 7 (0) + 8 (0)

4

= 24 = 6

4

Tekstur =1 (0) + 2 (0) + 3 (0) + 4 (0) + 5 (4) + 6 (0) + 7 (0) + 8 (0)

4

= 20 = 5

4

Kekenyalan = 1 (0) + 2 (0) + 3 (0) + 4 (0) + 5 (0) + 6 (4) + 7 (0) + 8 (0)

4

= 20 = 5

4

Kebasahan = 1 (0) + 2 (0) + 3 (0) + 4 (0) + 5 (0) + 6 (4) + 7 (0) + 8 (0)

4

= 24 = 6

4

Keempukan =1 (0) + 2 (0) + 3 (0) + 4 (0) + 5 (0) + 6 (4) + 7 (0) + 8 (0)

4

= 24 = 6

4

Residu Pengunyahan = 1 (0) + 2 (0) + 3 (0) + 4 (0) + 5 (0) + 6 (4) + 7 (0) + 8 (0)

4

= 24 = 6

4

B. Perhitungan Hasil Uji Organoleptik Daging Asap.

1. Sampel Pertama 25% (Tipe 123)

Warna = 1 (0) + 2 (1) + 3 (2) + 4 (1) + 5 (1) + 6 (2) + 7 (5) + 8 (0)

12

= 64 = 5,33 = 5

12

Tekstur = 1 (0) + 2 (0) + 3 (4) + 4 (7) + 5 (1) + 6 (0) + 7 (0) + 8 (0)

12

= 45 = 3,75 = 4

12

Kekenyalan = 1 (0) + 2 (0) + 3 (0) + 4 (3) + 5 (5) + 6 (3) + 7 (0) + 8 (1)

12

= 63 = 5,25 = 5

12

Kebasahan = 1 (0) + 2 (4) + 3 (4) + 4 (2) + 5 (4) + 6 (0) + 7 (0) + 8 (0)

12

= 44 = 3,66 = 4

12

Keempukan = 1 (1) + 2 (1) + 3 (1) + 4 (4) + 5 (5) + 6 (0) + 7 (0) + 8 (0)

12

= 42 = 3,5 = 3

12

Residu Pengunyahan = 1 (2) + 2 (2) + 3 (2) + 4 (4) + 5 (2) + 6 (0) + 7 (0) + 8 (0)

12

= 38 = 3,16 = 3

12

2. Sampel Kedua 50% (Tipe 321)

Warna = 1 (1) + 2 (0) + 3 (3) + 4 (1) + 5 (0) + 6 (0) + 7 (4) + 8 (3)

12

= 66 = 5,5 = 5

12

Tekstur = 1 (1) + 2 (3) + 3 (5) + 4 (1) + 5 (1) + 6 (1) + 7 (0) + 8 (0)

12

= 37 = 3,08 = 3

12

Kekenyalan = 1 (1) + 2 (0) + 3 (1) + 4 (2) + 5 (4) + 6 (3) + 7 (1) + 8 (0)

12

= 57 = 4,75 = 5

12

Kebasahan = 1 (0) + 2 (4) + 3 (4) + 4 (2) + 5 (4) + 6 (0) + 7 (0) + 8 (0)

12

= 38 = 3,16 = 3

12

Keempukan = 1 (2) + 2 (2) + 3 (2) + 4 (3) + 5 (3) + 6 (0) + 7 (0) + 8 (0)

12

= 39 = 3,25 = 3

12

Residu Pengunyahan = 1 (4) + 2 (2) + 3 (4) + 4 (0) + 5 (2) + 6 (0) + 7 (0) + 8 (0)

12

= 30 = 2,5 = 2

12

3. Sampel Ketiga 75% (Tipe 432)

Warna = 1 (0) + 2 (0) + 3 (1) + 4 (0) + 5 (0) + 6 (3) + 7 (5) + 8 (3)

12

= 80 = 6,66 = 7

12

Tekstur = 1 (0) + 2 (1) + 3 (9) + 4 (0) + 5 (2) + 6 (0) + 7 (0) + 8 (0)

12

= 39 = 3,25 = 3

12

Kekenyalan = 1 (10 + 2 (0) + 3 (0) + 4 (3) + 5 (4) + 6 (3) + 7 (1) + 8 (1)

12

= 65 = 5,41 = 5

12

Kebasahan = 1 (0) + 2 (3) + 3 (4) + 4 (1) + 5 (4) + 6 (0) + 7 (0) + 8 (0)

12

= 42 = 3,5 = 3

12

Keempukan = 1 (1) + 2 (2) + 3 (1) + 4 (2) + 5 (5) + 6 (1) + 7 (0) + 8 (0)

12

= 47 = 3,91= 4

12

Residu Pengunyahan = 1 (2) + 2 (2) + 3 (2) + 4 (5) + 5 (1) + 6 (0) + 7 (0) + 8 (0)

12

= 37 = 3,08 = 3

12

4. Sampel Keempat (Kontrol)

Warna = 1 (0) + 2 (0) + 3 (2) + 4 (1) + 5 (0) + 6 (3) + 7 (4) + 8 (2)

12

= 72 = 6

12

Tekstur = 1 (2) + 2 (2) + 3 (5) + 4 (2) + 5 (1) + 6 (0) + 7 (0) + 8 (0)

12

= 34 = 2,83 = 3

12

Kekenyalan = 1 (10 + 2 (0) + 3 (1) + 4 (2) + 5 (6) + 6 (2) + 7 (1) + 8 (0)

12

= 60 = 55

12

Kebasahan = 1 (0) + 2 (3) + 3 (4) + 4 (1) + 5 (4) + 6 (0) + 7 (0) + 8 (0)

12

= 37 = 3,08 = 3

12

Keempukan = 1 (2) + 2 (2) + 3 (3) + 4 (1) + 5 (3) + 6 (1) + 7 (0) + 8 (0)

12

= 40 = 3,33 = 4

12

Residu Pengunyahan = 1 (3) + 2 (5) + 3 (1) + 4 (3) + 5 (0) + 6 (0) + 7 (0) + 8 (0)

12

= 28 = 2,33 = 2

12