Laporan Praktikum
Ilmu & Teknologi Pengolahan Daging
CURING DAN DAGING ASAP
OLEH :
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVESITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2008
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Daging adalah urat yang melekat pada kerangka kecuali urat dari bagian bibir, hidung dan telinga dari hewan yang sehat sewaktu dipotong. Daging terdiri dari otot, jaringan penghubung dan jaringan lemak.
Daging merupakan salah satu bahan pangan bergizi tinggi disamping telur, susu dan ikan. Daging mengandung protein, lemak, mineral, air serta vitamin dalam susunan yang berbeda tergantung jenis makanan dan jenis hewan. Hewan yang berbeda mempunyai komposisi daging yang berbeda pula. Komposisi daging terdiri dari 75% air, 18% protein, 4% protein yang dapat larut (termasuk mineral) dan 3% lemak. Ternak rata-rata menghasilkan karkas (bagian badan hewan) 55%, macam-macam hasil sampingan 9%, kulit 6% dan bahan lainnya 30%. Daging yang baik ditentukan oleh warna, bau, penampakan dan kekenyalan. Semakin daging tersebut lembab atau basah serta lembek (tidak kenyal) menunjukkan kualitas daging yang kurang baik.
Pengawetan daging merupakan suatu cara menyimpan daging untuk jangka waktu yang cukup lama agar kualitas maupun kebersihannya tetap terjaga. Tujuan pengawetan adalah menjaga ketahanan terhadap serangan jamur (kapang), bakteri, virus dan kuman agar daging tidak mudah rusak. Ada beberapa cara pengawetan yaitu: pendinginan, pelayuan, pengasapan, pengeringan, pengalengan dan pembekuan.
Sebaiknya daging hewan yang baru saja disembelih tidak cepat-cepat dimasak, tetapi ditunggu beberapa lama atau dilayukan terlebih dahulu. Untuk daging sapi atau daging kerbau dapat dimasak sesudah pelayuan selama 12-24 jam; daging kambing, domba, babi sesudah 8 - 12 jam, sedangkan untuk daging pedet (anak sapi) sesudah 4-8 jam. Usaha pengawetan daging diperlukan untuk memenuhi selera atau kebutuhan konsumen serta mempermudah dalam pengangkutan.
Contoh hasil olahan dan pengawetan daging adalah abon, dendeng sayat, dendeng giling, dendeng ragi, daging asap, kornet, sosis dan sebagainya.
Daging asap adalah daging yang dipotong berupa lembaran tipis dan diberi bumbu, kemudian diasapkan. Pengasapan pada daging dimaksudkan untuk memberikan cita rasa asap, disamping untuk meningkatkan keawetan dan kestabilan warna daging.
Permasalahan
Adapun permasalahan pada daging asap yaitu membandingkan kualitas daging yang telah diberi curing dengan yang tidak diberikan curing baik dari segi warna daging, tekstur, kekenyalan, keempukan, kebasahan dan residu pengunyahan.
Maksud dan Tujuan
Maksud dari praktikum pengolahan curing dan daging asap yaitu agar dapat mengetahui proses pengolahan dan perbedaan daging asap yang telah diberi curing dengan daging asap tanpa curing.
Tujuan dari praktikum pengolahan curing dan daging asap yaitu untuk mengetahui proses dasar pengolahan (curing dan pengasapan), mengetahui cara curing dengan metode curing kering, membandingkan perbedaan karakteristik daging asap dengan atau tanpa kuring dan melakukan pengamatan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi selama pengasapan.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Daging
Daging merupakan bahan pangan yang penting dalam memenuhi kebutuhan gizi. Selain mutu proteinnya tinggi, pada daging terdapat pula kandungan asam amino esensial yang lengkap dan seimbang (Anonim, 2008).
Definisi daging secara umum adalah bagian dari tubuh hewan yang disembelih yang aman dan layak dikonsumsi manusia. Termasuk dalam definisi tersebut adalah daging atau otot skeletal dan organ-organ yang dapat dikonsumsi (edible offals) (Lukman, 2008).
Menurut strukturnya daging terdiri dari jaringan otot, jaringan ikat, pembuluh darah dan jaringan syaraf. Menurut Lawrie (1995) yang dimaksud dengan daging adalah daging tanpa jaringan pengikat khusus atau tendo sehingga lunak dan berasal dari ternak yang digunakan sebagai bahan makanan.
(Khatimah, 2008)
Daging adalah semua bagian tubuh ternak yang dapat dan wajar dimakan termasuk jaringan-jaringan dan organ tubuh bagian dalam seperti hati, ginjal, dan lain-lain. Soeparno (1994) mendefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya. Dengan didasarkan pada definisi tersebut maka organ-organ dalam (jeroan) dan produk olahan seperti corned termasuk dalam kategori daging. Namun demikian sering dalam kehidupan sehari-hari yang disebut dengan daging adalah semata-mata jaringan otot, meskipun benar bahwa komponen utama penyusun daging adalah otot, tetapi tidaklah sama otot dengan daging (Suharyanto, 2008).
Daging adalah salah satu bahan pangan sumber protein hewani yang sangat dibutuhkan oleh manusia, karena zat-zat makanan yang dikandungnya sangat diperlukan untuk kehidupan manusia, terutama bagi anak-anak yang sedang tumbuh (Rachmawan, 2001).
Daging merupakan salah satu bahan pangan yang mudah rusak (perishable food) karena daging merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme. Preservasi daging mempunyai tujuan antara lain untuk mengamankan daging dari kerusakan atau pembusukan oleh mikroorganisme dan memperpanjang masa simpan (shelf life daging). Preservasi berarti menghambat atau membatasi reaksi-reaksi enzimatis, khemis dan kerusakan fisik daging (Soeparno, 1992). Menurut Soesanto (1985) cara pengawetan bahan pangan pada prinsipnya dikelompokkan menjadi 2 yaitu pengawetan tanpa perubahan bentuk dari bahan pangan tersebut dan pengawetan dengan perubahan bentuk dan kadar air dari bahan pangan tersebut. Ditambahkan Soeparno (1992) pengawetan yang menghasilkan produk yang sifat fisiknya berubah dari bahan bakunya dikenal dengan istilah pengolahan. Berdasarkan keadaan fisiknya, daging dapat dikelompokkan menjadi: 1) daging segar yang dilayukan atau tanpa pelayuan; 2) daging segar yang dilayukan dan didinginkan (daging dingin); 3) daging segar yang dilayukan, didinginkan dan dibekukan (daging beku); 4) daging masak; 5) daging asap dan 6) daging olahan. Salah satu ciri khas pengolahan adalah adanya formulasi produk daging olahan. Dalam proses formulasi, macam ingredien yang dipilih dan jumlah yang digunakan bervariasi sesuai dengan hasil produk yang diinginkan. Tujuan utama formulasi adalah untuk menghasilkan daging olahan dengan penampakan yang kompak, cita rasa dan sifat-sifat yang stabil dan seragam. hasil formulasi tergantung pada karakteristik komposisi dan bahan dasar yang ditambahkan dalam produk daging olahan (Khatimah, 2008)
Lailasuhairi (2008) menyatakan bahwa karkas tersusun atas kurang lebih enam ratus jenis otot yang berbeda ukuran dan bentuknya, susunan syaraf dan persediaan darahnya serta perlekatannya pada bagian tulang dan tujuan serta jenis geraknya. Karkas sapi dapat dilihat pada Gambar 1. Kesehatan daging merupakan bagian yang bagi kesehatan makanan dan selalu menjadi pokok permasalahan yang mendapatkan perhatian khusus dalam penyediaan daging bagi konsumen.
Gambar 1 Bagian-bagian karkas sapi.
Daging sapi mempunyai berbagai macam jenis potongan daging sapi dapat digunakan untuk beberapa jenis masakan, misalnya saja potongan sirloin dapat digunakan untuk steik. Karkas daging sapi muda dapat dipotong menjadi 7 potongan, leg (paha), loin (lulur), rib (iga), breas (dada), shoulder (lengan), neck (leher), dan shank (sengkel). Untuk masalah kontinental hampir semua daging sapi dapat diolah dengan teknik roast atau grill. Di Indonesia setiap bagian potongan daging dapat dimasak dengan berbagai macam jenis masakan, misalnya saja potongan has luar dapat dimasak empal atau semur, potongan bagian paha dapat dimasak sup, dan juga rendang. Namun, demikian untuk mendapatkan olahan yang benar-benar enak dimakan, tetap harus tahu teknik cara mengolah daging yang betul (Anonim, 2008).
Daging dibentuk oleh 2 bagian utama yaitu serat-serat otot berbentuk rambut dan tenunan pengikat. Serat-serat otot daging diikat kuat oleh tenunan pengikat dan menghubungkannya dengan tulang. Bentuk serat-serat otot daging dengan tenunan pengikatnya dapat dilukiskan seperti pada gambar berikut (Dwiari, 2008).
.
Gambar 2. Penampang Otot.
Daging terdiri dari tiga komponen utama, yaitu jaringan otot (muscle tissue), jaringan lemak (adipose tissue), dan jaringan ikat (connective tissue). Banyaknya jaringan ikat yang terkandung di dalam daging akan menentukan tingkat kealotan/kekerasan daging. Otot daging yang terdapat pada hewan ada 3 macam, yaitu otot daging bergaris melintang, otot daging halus, dan otot jantung yang mempunyai bentuk khas (Anonim, 2008).
Kualitas karkas dan dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan sesudah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging antara lain adalah genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan termasuk bahan additif (hormon, antibiotik dan mineral). Faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging antara lain meliputi metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, pH karkas dan daging, bahan tambahan termasuk enzim pengempuk daging, hormon dan antibiotika, lemak intramuskular atau marbling, metode penyimpanan dan preservasi, macam otot daging dan lokasi otot daging (Tabrany, 2001).
Jenis daging juga dapat dibedakan berdasarkan umur sapi yang disembelih. Daging sapi yang dipotong pada umur sangat muda (3-14 minggu) disebut veal, yang berwarna sangat terang. Daging yang berasal dari sapi muda umur 14-52 minggu disebut calf (pedet), sedangkan yang berumur lebih dari satu tahun disebut beef (Anonim, 2008).
Berdasarkan umur, jenis kelamin, dan kondisi seksual, daging sapi (beef) berasal dari: (1) steer (sapi jantan yang dikastrasi sebelum mencapai dewasa kelamin), (2) heifer (sapi betina yang belum pernah melahirkan), (3) cow (sapi betina dewasa/pernah melahirkan), (4) bull (sapi jantan dewasa) dan (5) stag (sapi jantan yang dikastrasi setelah dewasa) (Anonim, 2008).
Komponen utama daging adalah lemak, protein, abu dan air. Peningkatan komponen yang satu akan menyebabkan penurunan komponen yang lain (Lin, 1981). Protein adalah komponen bahan kering yang terbesar dari daging. Daging mempunyai nilai nutrisi tinggi karena daging mengandung asam-asam amino esensial yang lengkap dan seimbang (Frankel, 1983). Komposisi kimia daging adalah air 75% (65-80%); protein 18,5% (16-22%); substansi-substansi non protein yang larut 3,5%; lemak 3% (1,5-13%) dan sangat bervariasi (Lawrie, 1995). Nilai kalori daging banyak ditentukan oleh kandungan lemak intraselular di dalam serabut-serabut otot atau dikenal dengan istilah marbling atau intramuskular (Khatimah, 2008)
Daging merupakan sumber utama untuk mendapatkan asam amino esensial. Asam amino esensial terpenting di dalam otot segar adalah alanin, glisin, asam glutamat, dan histidin. Daging sapi mengandung asam amino leusin, lisin, dan valin yang lebih tinggi daripada daging babi atau domba. Pemanasan dapat mempengaruhi kandungan protein daging. Daging sapi yang dipanaskan pada suhu 70o C akan mengalami pengurangan jumlah lisin menjadi 90 persen, sedangkan pemanasan pada suhu 160o C akan menurunkan jumlah lisin hingga 50 persen. Pengasapan dan penggaraman juga sedikit mengurangi kadar asam (Lailasuhairi, 2008).
Ternak rata-rata menghasilkan karkas (bagian badan hewan) 55%, macam-macam hasil sampingan 9%, kulit 6% dan bahan lainnya 30%. Daging yang baik ditentukan oleh warna, bau, penampakan dan kekenyalan. Semakin daging tersebut lembab atau basah serta lembek (tidak kenyak) menunjukan kualitas daging yang kurang baik (Anonima, 2008). Hal ini didukung oleh pendapat Anonimb (2008) bahwa Keunggulan lain, protein daging lebih mudah dicerna ketimbang yang berasal dari nabati. Bahan pangan ini juga mengandung beberapa jenis mineral dan vitamin.
Kandungan zat-zat makanan di dalam daging mudah sekali rusak oleh lingkungan sekitar, oleh karena itu diperlukan penanganan yang baik. Penanganan daging yang baik harus dimulai sejak ternak itu sebelum dipotong, pada saat pemotongan dan setelah pemotongan (Rachmawan, 2001).
Berdasarkan asal hewan, daging dikategorikan ke dalam 4 (empat) kelompok, yaitu: a. daging merah, yaitu daging yang berasal dari kelompok hewan berkaki empat yang diternakkan seperti sapi, kerbau, kambing, dan sebagainya, b. daging unggas (poultry), yaitu daging yang berasal dari ternak unggas seperti ayam, kalkun, puyuh, itik, dan lain sebagainya, c. daging ikan, adalah semua daging yang berasal dari produk perikanan seperti ikan, udang, kepiting, dan lain-lain, dan d. daging dari hewan liar, yaitu daging yang berasal dari hewan-hewan liar dan potensial untuk dibudidayakan seperti rusa, kijang, dan lain-lain. (Suharyanto, 2008).
Dalam rangkaian dan tingkatan proses setelah pemotongan ternak, berdasarkan kondisi fisiknya maka daging dikategorikan sebagai berikut : a. daging segar, yaitu daging yang baru didapat dari pemotongan baik setelah pelayuan maupun tidak, b. daging dingin, yaitu daging segar yang telah dilayukan kemudian didinginkan, c. daging beku, yaitu daging segar yang telah dilayukan, didinginkan kemudian dibekukan, d. daging masak, e. daging asap, dan f. daging olahan (Suharyanto, 2008).
B. Daging Asap
Dengan meluasnya konsumsi daging, sehingga telah banyak bentuk hasil olahan yang berasal dari daging seperti daging korned, sosis, dendeng, abon dan daging asap dan lain-lain. Bentuk-bentuk pengolahan ini pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh tingkat ekonomi yang mengolahnya sehingga hasil olahan tersebut dapat juga merupakan cerminan dari tingkat ekonomi yang mengkonsumsinya (Maruddin, 2004).
Pada daerah yang tingkat ekonominya masih dibawah menengah, pengolahan daging pada umumnya masih bersifat tradisional seperti metode pengasapan. Namun demikian, daging asap belum populer dikonsumsi masyarakat di beberapa daerah di Indonesia khususnya di Sulawesi Selatan, sehingga perlu diperkenalkan lebih lanjut untuk menjadi salah satu alternatif variasi olahan daging sapi yang merupakan bahan pangan bergizi (Maruddin, 2004).
Daging asap adalah irisan daging yang diawetkan dengan panas dan asap yang dihasilkan dari pembakaran kayu keras yang banyak menghasilkan asap dan lambat terbakar. Asap mengandung senyawa fenol dan formal dehida,masing-masing bersifat bakterisida (membunuh bakteri). Kombinasi kedua senyawa tersebut juga bersifat fungisida (membunuh kapang). Kedua senyawa membentuk lapisan mengkilat pada permukaan daging. Panas pembakaran juga membunuh mikroba, dan menurunkan kadar air daging. Pada kadar air rendah daging lebih sulit dirusak oleh mikroba (Anonim, 2008).
Daging asap dihasilkan dari proses pengasapan. Metode pengasapan ada 2 yaitu (a) pengasapan dingin (cold smoking) yang dilakukan pada suhu 20-25 oC (tidak lebih dari 28oC), pada kelembaban 70-80%, selama beberapa jam sampai beberapa hari; (2) pengasapan panas (hot smoking) yang dilakukan pada suhu awal 30-35oC dan akhir 50-55oC bahkan dapat mencapai 75-80oC (Lukman, 2008).
Pengasapan adalah salah satu cara memasak, memberi aroma, atau proses pengawetan makanan, terutama daging, ikan. Makanan diasapi dengan panas dan asap yang dihasilkan dari pembakaran kayu, dan tidak diletakkan dekat dengan api agar tidak terpanggang atau terbakar (Anonim, 2008).
Sebelum diasapi, daging biasanya direndam di dalam air garam. Beberapa jenis ikan tidak perlu direndam lebih dulu di dalam air garam, Setelah dilap dan dikeringkan, makanan digantung di tempat pengasapan yang biasanya memiliki cerobong asap. Sebagai kayu asap biasanya dipakai serpihan kayu yang bila dibakar memiliki aroma harum seperti kayu pohon ek dan bukan kayu yang memiliki damar. Ke dalam kayu bakar bisa ditambahkan rempah-rempah seperti cengkeh dan akar manis (Anonim, 2008).
Sewaktu pengasapan berlangsung, makanan harus dijaga agar seluruh bagian makanan terkena asap. Waktu pengasapan bergantung ukuran potongan daging dan jenis ikan. Api perlu dijaga agar tidak boleh terlalu besar. Bila suhu tempat pengasapan terlalu panas, asap tidak dapat masuk ke dalam makanan. Sewaktu pengasapan dimulai, api yang dipakai tidak boleh terlalu besar (Anonim, 2008).
Pengasapan merupakan salah satu bentuk pengawetan produk dengan menggunakan garam, panas, dan asap. Produk-produk makanan yang diasap dapat awet karena: (1) Panas dari pembakaran kayu dapat menghambat mikroorganisme. (2). Asap mengandung komponen antimikroba (bakterisida / bakteristatik). (3). Mengandung antioksidan sehingga dapat terhindar dari ketengikan. (4). Sebagian asap membentukkulit tipis sehingga dapat terhindar dari kontaminasi ulang (Dwiari, 2008).
Asap juga mengandung uap air, asam formiat, asam asetat, keton alkohol dan karbon. Rasa dan aroma khas produk pengasapan terutama disebabkan oleh senyawa fenol (quaiacol, 4-mettyl-quaiacol, 2,6-dimetoksi fenol) dan senyawa karbonil (Anonim, 2008).
Ada dua cara pengasapan yaitu cara tradisional dan cara dingin. Pada cara tradisional, asap dihasilkan dari pembakaran kayu atau biomassa lainnya (misalnya sabuk kelapa serbuk akasia, dan serbuk mangga). Pada cara basah, bahan direndam di dalam asap yang sudah di cairkan. Setelah senyawa asap menempel pada daging, kemudian daging dikeringkan. (Anonim, 2008).
Walaupun mutunya kurang bagus dibanding pengasapan dingin, Pengasapan tradisional paling mudah diterapkan oleh industri kecil. Asap cair yang diperlukan untuk pengasapan dingin sulit ditemukan di pasaran. Karena itu teknologi yang diuraikan lebih ditekankan pada pengasapan tradisional (Anonim, 2008).
Pengasapan memiliki tujuan untuk: (1). Pengawetan. (2). Membentuk sifat organoleptik yang meliputi: a. Cita rasa asap (smoky flavor); b. Warna spesifik (coklat mahoni), terutama pada produk-produk daging kuring. Warna coklat terbentuk dari nitrosomioglobin yang kontak dengan panas sehingga menyebabkan terjadinya reaksi pencoklatan; c. Meningkatkan keempukan daging (Dwiari, 2008).
Menurut Dwiari (2008) Komponen asap terdiri atas fraksi uap dan fraksi partikel yang dapat dibagi atas lima kelompok, yaitu:
a. Kelompok fenol: paling banyak terdiri atas fraksi uap, selain itu terdapat juga fraksi partikel;
b. Kelompok alkohol: hanya terdiri atas fraksi uap;
c. Kelompok asam-asam organik: meliputi fraksi uap dan fraksi partikel;
d. Senyawa karbonil: paling banyak terdiri atas fraksi partikel, selain itu terdapat juga fraksi uap;
e. Senyawa hidrokarbon: hanya terdiri atas fraksi partikel. Dua senyawa hidrokarbon yang merupakan senyawa polisiklik dan bersifat karsinogenik (dapat menyebabkan kanker) adalah benzapirene dan dibenzanthrasene. Senyawa ini akan terbentuk jika suhu pembakaran bahan bakar terlalu tinggi. Bahaya karsinogenesis tersebut dapat diabaikan karena senyawa karsinogen yang ditemukan jumlahnya sangat rendah.
Pengasapan akan menghasilkan produk asap yang bermutu prima jika faktor-faktor yang mempengaruhi proses pengasapan tersebut diterapkan dengan baik. Menurut Dwiari (2008) Faktor-faktor yang mempengaruhi pengasapan adalah sebagai berikut:
1. Suhu pengasapan
Suhu awal pengasapan sebaiknya rendah agar penempelan dan pelarutan asap berjalan efektif. Suhu tinggi akan menyebabkan air cepat menguap dan bahan yang diasap cepat matang tetapi flavor asap yang diinginkan belum terbentuk maksimal.
2. Kelembaban udara
Kelembaban udara harus diatur sedemikian rupa agar permukaan bahan yang diasap tidak terlalu cepat mengering dan pengeringan berjalan tidak terlalu lama. Jika kelembaban udara terlalu rendah maka permukaan bahan yang diasap akan cepat mengering. Sebaliknya, jika kelembaban udara terlalu tinggi maka proses pengeringan akan berjalan lambat. Sebagai contoh pada pengasapan ikan, kelembaban udara yang idealsebesar 60 – 70% jika suhu sekitar 290 C. Jika kelembaban udara kurang dai 60% maka permukaan ikan akan cepat mengering, jika diatur lebih dari 70% maka proses pengeringan lambat.
3. Jenis kayu
Serutan kayu dan serbuk gergaji dari jenis kayu keras cocok untuk pengasapan dingin. Batang atau potongan kayu dari kayu keras cocok untuk pengaapan panas. Kayu yang mengandung resin atau damar harus dihindari karena akan menimbulkan rasa pahit.
4. Jumlah asap, ketebalan asap, dan kecepatan aliran asap dalam alat pengasap
Ketiga faktor ini akan mempengaruhi hasil produk akhir. Jika jumlah asap yang kontak dengan bahan sedikit, maka cita rasa asap yang dihasilkan pun berkurang. Demikian pula dengan kedua faktor yang lainnya.
5. Mutu bahan yang diasap
Untuk memperoleh produk asap yang berkualitas baik, maka mutu bahan yang akan diasap harus yang bermutu baik pula
6. Perlakuan sebelum pengasapan
Sebelum pengasapan, biasanya bahan pangan mengalami proses penggaraman atau proses kuring. Bahan yang langsung diasap akan berbeda sifat organoleptiknya dibandingkan bahan yang mengalami perlakuan pendahuluan. Selanjutnya jumlah garam dan bahan kuring yang digunakan juga akan mempengaruhi hasil akhir.
Proses kuring adalah proses pengolahan daging yang lebih luas daripada proses penggaraman yang konvensional; dalam pengolahan digunakan aditif lain selain garam, dapat dilanjutkan dengan pengasapan / pengeringan. (Hariningsih, 2008).
Pada prinsipnya semua jenis daging dapat mengalami proses kuring, tetapi yang lebih baik adalah daging sapi atau daging yang memiliki pigmen merah karena produk akhir akan berwarna merah mahoni (kecoklatan), warna yang diinginkan untuk daging yang diasap. Menurut Dwiari (2008) Adapun bahan dasar untuk kuring terdiri atas:
1. Garam, berfungsi untuk mengawetkan (tujuan utama) dan membentuk cita rasa khas. Kadar garam produk kuring umumnya 2 - 5%, sedangkan untuk “Chinese Ham” (daging babi masakan Cina) kadar garamnya 15%.
2. Gula, berfungsi untuk mengawetkan (tujuan utama) dan membentuk cita rasa spesifik bersama dengan garam.
3. Nitrat, fungsinya membentuk warna merah yang spesifik dan sebagai pengawet.
Akibat proses kuring, cairan menetes dari daging dan sebagian protein larut-air akan hilang. Susut protein akan terjadi jika digunakan konsentrasi larutan garam 26%. Protein yang biasanya berdifusi ke larutan, akan tinggal dalam daging jika larutan garam dikocok dan waktu curing diperpendek (Bahari, 2008).
Tiamin adalah satu satunya vitamin yang selalu susut dalam pengolahan yang melibatkan perlakuan pengeringan. Susut tiamin dapat meningkat dengan tajam jika daging yang diawetkan dengan kuring tersebut dikalengkan dan dipasteurisasi (Bahari, 2008).
Daging yang diawetkan dengan kuring dapat mengandung nitrosamina (sekelompok senyawaan kimia yang bersifat karsinogen). Nitrosoma dapat muncul dalam tubuh manusia apabila prazatnya, yaitu amina dan nitrat atau nitrit saling bersentuhan dalam lambung (Bahari, 2008).
METODOLOGI PRAKTIKUM
Waktu dan Tempat
Praktikum Ilmu & Teknologi Pengolahan Daging mengenai produk daging asap dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 08 November 2008, pukul 15.00 WITA sampai selesai bertempat di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar.
Materi Praktikum
a. Uji Organoleptik Daging Segar
Alat-alat yang digunakan dalam uji organoleptik daging segar yaitu piring dan pisau.
Bahan-bahan yang digunakan dalam uji organoleptik daging segar yaitu yaitu daging segar dan kertas uji.
b. Produk Daging Asap
Alat-alat yang digunakan dalam pengolahan daging asap yaitu talenan, piring, pisau, tungku api dan timbangan.
Bahan-bahan yang digunakan daam pengolahan daging asap yaitu curing additive (sendawa), korek api, benang kasur, kertas uji dan tempurung kelapa.
Metode Praktikum
b. Uji Organoleptik Daging Segar
Pertama-tama memotong daging menjadi bagian-bagian kecil lalu melakukan pengujian organoleptik dagiing segar dan mengisi tabel uji organoleptik
b. Produk Daging Asap
Membersihkan daging dari lemak dan tendon yang masih ada lalu memotong daging dengan ukuran berat ± 100 g dibagi 3 bagian, masing-masing 25 g, tiap potongan 25 %, 50%, 75% serta bagian lain dengan perlakuan tanpa curing (kontrol). Biarkan selama 1 jam, setelah itu daging di ikat dengan tali kemudian mengasapkannya lalu melakukan pengamatan.
Analisa Data
Paramater yang diuji = (∑ panelis yang memilih x skala) + …dst
∑ panelis
PEMBAHASAN
A. Uji Organoleptik Daging Segar
Tabel 1. Hasil Uji Organoleptik pada Daging
Parameter | Skala | Keterangan |
Warna | 6 | Agak merah gelap |
Tekstur | 5 | Agak halus |
Kekenyalan | 5 | Agak Kenyal |
Kebasahan | 5 | Agak basah |
Keempukan | 6 | Empuk |
Residu Pengunyahan | 2 | Banyak |
Sumber : Data Hasil Praktikum Ilmu & Teknologi Pengolahan Daging, 2008.
Berdasarkan tabel diatas, maka diperoleh hasil uji organoleptik daging segar yaitu warna yang diperoleh agak merah gelap dengan skala 6. Hal ini menandakan daging tersebut masih segar dan baru saja dipotong. Hal ini sesuai dengan pendapat Anonim (2008) yang menyatakan bahwa warna daging sapi yang baru diiris biasanya merah gelap. Warna tersebut berubah menjadi terang (merah ceri) bila daging dibiarkan terkena oksigen. Perubahan warna merah gelap menjadi terang tersebut bersifat reversible (dapat balik). Namun, bila daging tersebut terlalu lama terkena oksigen, warna merah terang akan berubah menjadi cokelat. Hal ini didukung oleh pendapat Anonim (2008) yang menyatakan bahwa Daging sapi biasanya dilihat dari warna. Semakin tua warnanya maka makin tua umur dan ketebalan lemaknya. Jadi warna daging yang masih muda lebih empuk dibanding warna yang tua.
Pada parameter kekenyalan, dapat dilihat hasil uji organoleptik daging segar yaitu agak kenyal dengan skala 5. Hal ini mungkin disebabkan karena kandungan jaringan ikat pada daging dan juga karena daging tersebut berasal dari ternak yang tua. Hal ini sesuai dengan pendapat Anonim (2008) yang menyatakan bahwa daging terdiri dari tiga komponen utama, yaitu jaringan otot (muscle tissue), jaringan lemak (adipose tissue), dan jaringan ikat (connective tissue). Banyaknya jaringan ikat yang terkandung di dalam daging akan menentukan tingkat kealotan/kekerasan daging. Hal ini didukung oleh pendapat Suharyanto (2008) yang menyatakan bahwa banyaknya jaringan ikat yang terkandung di dalam daging akan menentukan tingkat kealotan / kekerasan daging. Keempukan daging ditentukan oleh kandungan jaringan ikat. Semakin tua usia hewan, susunan jaringan ikat semakin banyak, sehingga daging yang dihasilkan semakin alot.
Pada pengujian kebasahan, maka dari hasil uji organoleptik daging segar dapat diketahui daging tersebut agak basah dengan skala 5. Hal ini menandakan dagin tersebut masih baik. Hal ini seusia dengan pendapat Didiet (2008), yang menyatakan bahwa Ciri-ciri daging sapi yang baik adalah berwarna merah terang/cerah, mengkilap, tidak pucat dan tidak kotor. Secara fisik daging elastis, sedikit kaku dan tidak lembek. Jika dipegang masih terasa basah dan tidak lengket di tangan. Dari segi aroma, daging sapi sangat khas (gurih).
Pada pengujian residu pengunyahan, maka diperoleh hasil uji organoleptik daging segar yaitu banyak dengan skala 2. Hal ini menandakan daging tersebut kurang empuk karena residu pengunyahan dapt menjadi parameter apakah daging tersebut empuk atau tidak. Hal ini sesuai dengan pendapat Didiet (2008), yang menyatakan bahwa untuk mengukur mutunya, daging dapat diketahui dari keempukannya yang dapat dibuktikan dengan sifatnya yang mudah dikunyah.
B. Uji Organoleptik Daging Asap
a. Sampel Pertama 25% (Tipe 123)
Tabel 2. Uji Organoleptik pada Daging Asap Dengan Curing 25%
Parameter | Skala | Keterangan |
Warna | 5 | Merah Cerah |
Tekstur | 4 | Agak kasar |
Kekenyalan | 5 | Agak Kenyal |
Kebasahan | 4 | Agak kering |
Keempukan | 3 | Keras |
Residu Pengunyahan | 3 | Agak Banyak |
Sumber : Data Hasil Praktikum Ilmu & Teknologi Pengolahan Daging, 2008.
b. Sampel Kedua 50% (Tipe 321)
Tabel 3. Uji Organoleptik pada Daging Asap Dengan Curing 50%
Parameter | Skala | Keterangan |
Warna | 5 | Merah Cerah |
Tekstur | 3 | Kasar |
Kekenyalan | 5 | Agak Kenyal |
Kebasahan | 3 | Kering |
Keempukan | 3 | Keras |
Residu Pengunyahan | 2 | Banyak |
Sumber : Data Hasil Praktikum Ilmu & Teknologi Pengolahan Daging, 2008.
c. Sampel Ketiga 75% (Tipe 432)
Tabel 4. Uji Organoleptik pada Daging Asap Dengan Curing 75%
Parameter | Skala | Keterangan |
Warna | 7 | Agak Coklat |
Tekstur | 3 | Kasar |
Kekenyalan | 5 | Agak Kenyal |
Kebasahan | 3 | Kering |
Keempukan | 4 | Agak Keras |
Residu Pengunyahan | 3 | Agak Banyak |
Sumber : Data Hasil Praktikum Ilmu & Teknologi Pengolahan Daging, 2008.
d. Sampel Keempat
Tabel 5. Uji Organoleptik pada Daging Asap Tanpa Curing (kontrol)
Parameter | Skala | Keterangan |
Warna | 6 | Merah Gelap |
Tekstur | 3 | Kasar |
Kekenyalan | 5 | Agak Kenyal |
Kebasahan | 3 | Kering |
Keempukan | 3 | Keras |
Residu Pengunyahan | 2 | Banyak |
Sumber : Data Hasil Praktikum Ilmu & Teknologi Pengolahan Daging, 2008.
Berdasarkan hasil uji organoleptik daging asap, maka dapat diketahui warna dari masing-masing sampel merah cerah dengan skala 5, dan sampel kedua merah cerah dengan skala 5, sampel ketiga agak coklat dengan skala 7 dan sampel terakhir yaitu tanpa menggunakan curing (kontrol) berwarna agak coklat dengan skala 6. Setelah membandingkan warna daging asap baik yang telah diberi curing maupun yang tidak diberikan curing, maka dapat diketahui warna daging curing lebih baik dari pada warna daging asap tanpa curing. Warna yang terbentuk pada daging asap, dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti komponen asap, reaksi Maillard dan perlakuan curing pada daging sebelum pengasapan dan daging yang telah diasapkan berwarna merah mahoni atau kecoklatan. Hal ini sesuai dengan pendapat Anonim (2008) bahwa kisaran warna yang terbentuk dari proses pengasapan adalah dari kuning emas hingga coklat tua. Pembentukan warna berhubungan erat dengan reaksi Maillard yang terbentuk karena reaksi antara senyawa karbonil asap dengan komponen amino di permukaan daging. Hal ini juga didukung oleh pendapat Dwiari (2008) yang mengatakan bahwa pada prinsipnya semua jenis daging dapat mengalami proses kuring, tetapi yang lebih baik adalah daging sapi atau daging yang memiliki pigmen merah karena produk akhir akan berwarna merah mahoni (kecoklatan), warna yang diinginkan untuk daging yang diasap.
Dari segi tekstur, hasil uji organoleptik yang diperoleh tekstur daging pada sampel yang tidak menggunakan curing lebih keras daripada daging asap yang telah diberi curing. Hal ini karena dengan penggunaan curing seperti sendawa yang termasuk sebagaibahan tambahan pangan dapat mempengaruhi tekstur daging asap. Hal ini sesuai dengan pendapat Putra (2008) yang mengatakan bahwa sendawa mampu mempertahankan warna, aroma, dan tekstur selama proses pemasakan sehingga memberikan daya tarik sensorik. Hal ini juga didukung oleh pendapat Anonim (2008) yang menyatakan bahwa BTP adalah bahan yang tidak dikonsumsi langsung sebagai makanan dan tidak merupakan bahan baku pangan, dan penambahannya ke dalam pangan ditujukan untuk mengubah sifat-sifat makanan seperti bentuk, tekstur, warna, rasa, kekentalan, dan aroma, untuk mengawetkan, atau untuk mempermudah proses pengolahan.
Nilai kekenyalan dari daging asap baik dengan maupun tanpa curing yaitu agak kenyal dengan skala 5. Jika melihat hasil yang diperoleh seharusnya dengan perlakuan curing, tekstur yang diperoleh lebih kenyal atau lebih baik, dibandingkan dengan yang tanpa perlakuan curing. Hal ini dapat dilihat dapat dilihat dari tujuan dilakukannya curing yaitu untuk memperoleh produk yang lebih baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Anonim (2008) bahwa curing bertujuan untuk memberikan warna daging yang stabil, aroma, tekstur, kekenyalan, dan kelezatan yang baik.
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari uji organoleptik daging asap, maka dari segi kebasahan dapat diketahui daging asap yang dihasilkan kering kecuali pada sampel pertama yang menggunakan curing 25% yaitu agak kering. Hal ini dikarenakan metode yang digunakan dalam pembuatan daging asap yaitu dengan cara tradisional dan bukan menggunakan cara basah. Hal ini sesuai dengan pendapat Anonim (2008) yang menyatakan bahwa Ada dua cara pengasapan yaitu cara tradisional dan cara dingin. Pada cara tradisional, asap dihasilkan dari pembakaran kayu atau biomassa lainnya (misalnya sabuk kelapa serbuk akasia, dan serbuk mangga). Pada cara basah, bahan direndam di dalam asap yang sudah di cairkan. Setelah senyawa asap menempel pada daging, kemudian daging dikeringkan.
Berdasarkan hasil uji organoleptik daging asap, maka dapat diketahui keempukan dari keempat sampel adalah keras kecuali pada sampel yang menggunakan curning 75%. Hal ini jika melihat hasil yang diperoleh seharusnya dengan perlakuan curing, keempukan yang diperoleh lebih empuk atau lebih baik, dibandingkan dengan daging yang tanpa perlakuan curing. Hal ini dapat dilihat dapat dilihat dari salah satu dari tujuan dilakukannya pengasapan daging yaitu untuk meningkatkan keempukan daging. Hal ini sesuai dengan pendapat Dwiari (2008), yang menyatakan bahwa pengasapan memiliki tujuan untuk: (1). Pengawetan; (2). Membentuk sifat organoleptik yang meliputi: a. Cita rasa asap (smoky flavor); b. Warna spesifik (coklat mahoni), terutama pada produk-produk daging kuring; (c). Meningkatkan keempukan daging.
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari parameter residu pengunyahan, maka dapat diketahui daging yang tidak menggunakan curing lebih banyak residu pengunyahannya dari pada daging yang menggunakan curing. Hal ini sesuai dengan tingkat kekerasan daging tersebut. Peningkatan residu pegunyahan sama dengan peningkatan daya putus dari daging tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Anonim (2008), yang menyatakan bahwa semakin alot daging, maka daya putusnya semakin tinggi.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Berdasarkan daya terima panelis secara umum terhadap warna, tekstur, kebasahan keempukan dan residu pengunyahan, tidak terdapat perbedaan yang cukup mencolok antara keempat perlakuan yaitu daging asap yang menggunakan curing dengan jumlah curing yang berbeda dengan daging asap tanpa menggunakan curing (kontrol). Hal ini disebabkan oleh panelis yang menguji daging asap ini tidak melakukan dengan tidak benar dan terkesan asal-asalan.
2. Dengan melakukan pengasapan pada daging dapat memberikan cita rasa asap, disamping untuk meningkatkan keawetan dan kestabilan warna daging. Hal ini menjadi solusi dari pengolahan daging yang dapat memperpanjang masa simpan daging.
3. Dengan penggunaan curing dalam hal ini penambahkan sendawa (garam nitrat atau garam nitrit) ke dalam potongan daging sebagai bahan pengawet, pemberi cita rasa, dan mempertahankan warna merah (pink) cerah pada daging. Namun perlu diketahui penggunaan yang berlebih dapat menganggu kesehatan yang memakannya.
4. Dalam melakukan uji organoleptik sebaiknya seorang panelis adalah orang yang peka akan rasa, bukan perokok, dalam melakukan uji organoleptik kondisinya sehat dan dalam keadaan stabil (tidak lapar) dan setelah melakukan uji organoleptik meminum air.
Saran
Disarankan kepada para panelis dalam melakukan uji organoleptik untuk menilai dengan baik, meminum air sesudah melakukan uji organoleptik dan tidak lapar maupun kekenyangan karena dapat mempengaruhi hasil uji organoleptik.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2008. Bahan Tambahan Pangan. http://www.ilmupangan.com. Diakses tanggal 14 November 2008.
______, 2008. Daging Asap (Daging Sale) Cara Tradisional. http://www.iptek.net.id. Diakses tanggal 10 November 2008.
______, 2008. Lebih jauh Mengenal Daging Sapi. http://cookingclub.sharp.indonesia.com. Diakses tanggal 14 November 2008.
______, 2008. Mengapa Kita Perlu Makan Daging. http://www.depkes.go.id. Diakses tanggal 14 November 2008.
______, 2008. Pengasapan. http://id.wikipedia.org. Diakses tanggal 14 Noember 2008.
______, 2008. Tips Membedakan Beragam Daging. http://www.disnak-jatim.go.id. Diakses tanggal 10 November 2008.
Bahari, A.W. 2008. Pengeringan Daging. http://windubahari.wordpress.com. Diakses tanggal 14 November 2008.
Didiet, 2008. Tips Memilih Daging. http://peternakan-didiet.blogspot.com. Diakses
Dwiari, S.R. 2008. Teknologi Pangan. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta. Diakses tanggal 10 Nomber 2008.
Hariningsih, Dwi. 2008. Teknologi Hasil Pangan, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta. Diakses tanggal 10 November 2008
Khatimah, K. 2008. Studi Tentang Tingkat Permintaan Daging Segar dan Daging Olahan (Corned, Sosis, Dendeng) di Supermarket Kodya Malang. http://digilip.itb.ac.id. Diakses tanggal 14 November 2008.
Lailasuhairi, 2008. Ilmu Daging. http://lailasuhairi.blogspot.com. Diakses tanggal 14 November 2008.
Lukman, D.W. 2008. Daging dan Produk Olahannya. http://higiene-pangan.blogspot.com. Diakses tanggal 18 November 2008.
Maruddin, F. 2004. Kualitas Daging Sapi Asap Pada Lama Pengasapan dan Penyimpanan. http://www.pascaunhas.net. Diakses tanggal 18 November 2008.
Putra, R.P. 2008. Waspadai Pembentukan Nitrosamin pada Daging yang Diawetkan dengan Sendawa. http://www.kendariekspress.com. Diakses tanggal 18 November 2008.
Rachmawan, O. 2001. Penanganan Daging. Departemen Pendidikan Nasional Proyek Pengembangan Sistem dan Stnadar Pengelolaan SMK. Direktorart Pendidikan Menengah Kejuruan, Jakarta. Diakses tanggal 10 November 2008.
Suharyanto, 2007. Kuliah Dasar Teknologi Hasil Ternak. http://suharyanto.wordpress.com. Diakses tanggal 14 November 2008.
Tabrany, H. 2001. Pengaruh Proses Pelayuan Terhadap Keempukan Daging. Makalah Falsafah Sains Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, Bandung. Diakses tanggal 10 November 2008.
LAMPIRAN
A. Perhitungan Hasil Uji Organoleptik Daging Segar.
Warna = 1 (0) + 2 (0) + 3 (0) + 4 (0) + 5 (0) + 6 (4) + 7 (0) + 8 (0)
4
= 24 = 6
4
Tekstur =1 (0) + 2 (0) + 3 (0) + 4 (0) + 5 (4) + 6 (0) + 7 (0) + 8 (0)
4
= 20 = 5
4
Kekenyalan = 1 (0) + 2 (0) + 3 (0) + 4 (0) + 5 (0) + 6 (4) + 7 (0) + 8 (0)
4
= 20 = 5
4
Kebasahan = 1 (0) + 2 (0) + 3 (0) + 4 (0) + 5 (0) + 6 (4) + 7 (0) + 8 (0)
4
= 24 = 6
4
Keempukan =1 (0) + 2 (0) + 3 (0) + 4 (0) + 5 (0) + 6 (4) + 7 (0) + 8 (0)
4
= 24 = 6
4
Residu Pengunyahan = 1 (0) + 2 (0) + 3 (0) + 4 (0) + 5 (0) + 6 (4) + 7 (0) + 8 (0)
4
= 24 = 6
4
B. Perhitungan Hasil Uji Organoleptik Daging Asap.
1. Sampel Pertama 25% (Tipe 123)
Warna = 1 (0) + 2 (1) + 3 (2) + 4 (1) + 5 (1) + 6 (2) + 7 (5) + 8 (0)
12
= 64 = 5,33 = 5
12
Tekstur = 1 (0) + 2 (0) + 3 (4) + 4 (7) + 5 (1) + 6 (0) + 7 (0) + 8 (0)
12
= 45 = 3,75 = 4
12
Kekenyalan = 1 (0) + 2 (0) + 3 (0) + 4 (3) + 5 (5) + 6 (3) + 7 (0) + 8 (1)
12
= 63 = 5,25 = 5
12
Kebasahan = 1 (0) + 2 (4) + 3 (4) + 4 (2) + 5 (4) + 6 (0) + 7 (0) + 8 (0)
12
= 44 = 3,66 = 4
12
Keempukan = 1 (1) + 2 (1) + 3 (1) + 4 (4) + 5 (5) + 6 (0) + 7 (0) + 8 (0)
12
= 42 = 3,5 = 3
12
Residu Pengunyahan = 1 (2) + 2 (2) + 3 (2) + 4 (4) + 5 (2) + 6 (0) + 7 (0) + 8 (0)
12
= 38 = 3,16 = 3
12
2. Sampel Kedua 50% (Tipe 321)
Warna = 1 (1) + 2 (0) + 3 (3) + 4 (1) + 5 (0) + 6 (0) + 7 (4) + 8 (3)
12
= 66 = 5,5 = 5
12
Tekstur = 1 (1) + 2 (3) + 3 (5) + 4 (1) + 5 (1) + 6 (1) + 7 (0) + 8 (0)
12
= 37 = 3,08 = 3
12
Kekenyalan = 1 (1) + 2 (0) + 3 (1) + 4 (2) + 5 (4) + 6 (3) + 7 (1) + 8 (0)
12
= 57 = 4,75 = 5
12
Kebasahan = 1 (0) + 2 (4) + 3 (4) + 4 (2) + 5 (4) + 6 (0) + 7 (0) + 8 (0)
12
= 38 = 3,16 = 3
12
Keempukan = 1 (2) + 2 (2) + 3 (2) + 4 (3) + 5 (3) + 6 (0) + 7 (0) + 8 (0)
12
= 39 = 3,25 = 3
12
Residu Pengunyahan = 1 (4) + 2 (2) + 3 (4) + 4 (0) + 5 (2) + 6 (0) + 7 (0) + 8 (0)
12
= 30 = 2,5 = 2
12
3. Sampel Ketiga 75% (Tipe 432)
Warna = 1 (0) + 2 (0) + 3 (1) + 4 (0) + 5 (0) + 6 (3) + 7 (5) + 8 (3)
12
= 80 = 6,66 = 7
12
Tekstur = 1 (0) + 2 (1) + 3 (9) + 4 (0) + 5 (2) + 6 (0) + 7 (0) + 8 (0)
12
= 39 = 3,25 = 3
12
Kekenyalan = 1 (10 + 2 (0) + 3 (0) + 4 (3) + 5 (4) + 6 (3) + 7 (1) + 8 (1)
12
= 65 = 5,41 = 5
12
Kebasahan = 1 (0) + 2 (3) + 3 (4) + 4 (1) + 5 (4) + 6 (0) + 7 (0) + 8 (0)
12
= 42 = 3,5 = 3
12
Keempukan = 1 (1) + 2 (2) + 3 (1) + 4 (2) + 5 (5) + 6 (1) + 7 (0) + 8 (0)
12
= 47 = 3,91= 4
12
Residu Pengunyahan = 1 (2) + 2 (2) + 3 (2) + 4 (5) + 5 (1) + 6 (0) + 7 (0) + 8 (0)
12
= 37 = 3,08 = 3
12
4. Sampel Keempat (Kontrol)
Warna = 1 (0) + 2 (0) + 3 (2) + 4 (1) + 5 (0) + 6 (3) + 7 (4) + 8 (2)
12
= 72 = 6
12
Tekstur = 1 (2) + 2 (2) + 3 (5) + 4 (2) + 5 (1) + 6 (0) + 7 (0) + 8 (0)
12
= 34 = 2,83 = 3
12
Kekenyalan = 1 (10 + 2 (0) + 3 (1) + 4 (2) + 5 (6) + 6 (2) + 7 (1) + 8 (0)
12
= 60 = 55
12
Kebasahan = 1 (0) + 2 (3) + 3 (4) + 4 (1) + 5 (4) + 6 (0) + 7 (0) + 8 (0)
12
= 37 = 3,08 = 3
12
Keempukan = 1 (2) + 2 (2) + 3 (3) + 4 (1) + 5 (3) + 6 (1) + 7 (0) + 8 (0)
12
= 40 = 3,33 = 4
12
Residu Pengunyahan = 1 (3) + 2 (5) + 3 (1) + 4 (3) + 5 (0) + 6 (0) + 7 (0) + 8 (0)
12
= 28 = 2,33 = 2
12